BANDUNG – Lembaga Ilmu Pengetahun Indonesia (LIPI) dalam 10 tahun terakhir ini telah menciptakan lebih dari 500 paten hasil riset yang terdaftar dalam berbagai bidang teknologi.
Namun sayangnya hasil tersebut belum banyak dimanfaatkan industri, padahal negara maju lainnya telah melakukan kerja sama antara dunia industri dan dunia penelitian dan pengembangan (litbang) dalam hal memajukan perekonomian. Kepala LIPI Iskandar Zulkarnain mengatakan dari ratusan riset teknologi yang sudah dipatenkan, sedikit sekali yang dimanfaatkan pihak industri, dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).
Padahal di negara maju pihak industri telah melakukan kerja sama ini, seperti halnya di Korea dan Taiwan yang pertumbuhan perekonomiannya pesat.
“Hasil riset LIPI yang sudah dipakai industri itu masih sedikit, tapi ada beberapa seperti industri bunga, pupuk organik, inseminasi buatan, dan lain-lain. Tapi secara internasional sebetulnya masih di bawah 10% dari registered dan yang terpakai masih di bawah itu,” ungkapnya kepada wartawan usai peresmian Inkubator teknologi Cerdas (INTeC-LIPI) atau Smart Technology Incubator (STI) di Kantor LIPI, Jalan Cisitu, kemarin.
Adanya ketidaksinergisan dalam triple Helix atau penyatuan tiga kalangan yang terdiri dari akademisi, bisnis, dan pemerintah menyebabkan kedua kutub antara dunia industri dan dunia litbang saling bertolak belakang. Untuk itu Iskandar meminta pemerintah sebagai regulator dan fasilitator membuat regulasi untuk menciptakan sinergitas ketiga kalangan ini sehingga memiliki motivasi untuk meningkatkan dinamika dan daya kesinambungan ekonomi.
“Pemerintah kita masih belum berperan sebagai regulator dan fasilitator yang bisa membuat sinergi antara dunia industri dan dunia Litbang ini yang jadi persoalan,” kata dia. Beberapa aturan yang mengekang dinilai penyebab hubungan dunia industri dan dunia litbang seperti dua kutub berbeda yang saling bertolakan.
Untuk itu pihaknya mendorong pemerintah membuat regulasi yang bisa menciptakan kerja sama dunia Industri dan dunia litbang ini. “Karenanya bikin dong regulasinya. Misal sekarang pemerintah mengeluarkan teks insentif bagi perusahaan yang mau bekerja sama dengan litbang untuk mengembangkan inovasi, dia diberikan insentif pajak,” katanya.
“Kalau tidak mau diberikan penambahan pajak, dengan demikian dia mau tidak mau memilih dan berpikir,” ujarnya.
Di negara maju, lanjut Iskandar, pergerakan periset ke dunia industri itu sudah berlangsung, idealnya 70% kerja sama dilakukan dengan industri, sedang dengan pemerintah hanya 30%, hal tersebut dilakukan untuk mengejar keuntungan dalam hal perekonomian.
“Tapi kan di kita ini 90%:10%. Artinya kerja sama 90%-nya banyak dilakukan dengan pemerintah, 10%-nya dengan industri. Kendala di Indonesia itu mindset dan regulasi tak ada yang mengatur,” jelasnya. (IFR/Okezone.com)