JAKARTA — Peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan (Puslitbangkan) Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan (Balitbang KP) menemukan bahwa tren jejak karbon (carbon footprint) pada Tuna Cakalang Tongkol (TCT) longline di Samudera Hindia mengalami kenaikkan.
Peneliti Puslitbangkan Balitbang KP Suryanto di Jakarta, Rabu (30/11) mengatakan, telah dihasilkan data dasar jejak karbon TCT longline di Samudera Hindia pada kurun waktu 2011-2015 di mana terjadi perubahan tren peningkatan jumlah trip dan penurunan lama hari layar dengan tren tenaga mesin induk yang konstan.
Hal tersebut, menurut dia, berdampak pada peningkatan terhadap Catch per Unit Effort (CPUE) ton per trip, penurunan Fuel Used Intensity (FUI) ton BBM per ton tangkapan dan peningkatan energi yang digunakan (Horse Power-HP dikali lama hari layar) yangequivalent dengan emisi karbondioksida (CO2).
“Karena peningkatan tren CPUE jauh lebih kecil dibandingkan tren peningkatan pemanfaatan energi (HP dikali hari layar), maka tren jejak karbon (ton CO2e per ton tangkapan) meningkat,” ujar dia.
Lebih jauh ia mengatakan bahwa peningkatan tren jejak karbon semakin meningkat karena pengaruh fluktuasi porsi target tangkapan terhadap total tangkapan yang cukup signifikan. Secara ekonomi hal tersebut juga berpengaruh terhadap porsi belanja bahan bakar terhadap hasil penjualan hasil tangkapan.
Menurut dia, usaha termudah tanpa memerlukan investasi untuk memperbaiki kondisi tersebut dapat dilakukan melalui dua pendekatan yaitu pertama, pendekatan operasional dilakukan dengan melakukan operasi yang terencana melalui pengaturan waktu dan kecepatan kapal serta penggunaan nakhoda yang berpengalaman.
Kedua, pendekatan perawatan dapat dilakukan dengan perawatan terjadwal mesin induk dan mesin bantu serta pembersihan lambung kapal. Dari sisi pengelolaan pelabuhan perikanan, studi menunjukan peningkatan frekuensi keberangkatan kapal dengan hari di laut yang singkat akan meningkatkan CPUE dan FUI.
Hal tersebut, menurut dia, akan lebih bermanfaat dalam penurunan jejak karbon jika tenaga mesin kapal yang beroperasi. Namun karena dominasi besar tenaga mesin induk kapal yang beroperasi relatif konstan, hal tersebut mengakibatkan tren jejak karbon dan porsi belanja BBM terhadap hasil penjualan hasil tangkapan meningkat.
Pemerintah Indonesia pada pertemuan G-20 di Pittsburgh, Amerika Serikat, tahun 2009 telah berkomitmen untuk menurunkan emisi sebesar 26 persen dari “baseline business as usual” (BAU) pada 2020. Komitmen tersebut ditindaklanjuti dengan diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 61 tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunanan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK).
Pada “Conferrence of the Parties” (COP) United Nations Framework Convention on Climate Change 21 di Paris tahun 2015, komitmen tersebut ditingkatkan menjadi penurunan emisi sebesar 29 persen pada tahun 2030.
Berdasarkan review RAN-GRK yang dikoordinasikan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) pada tahun yang sama, disepakati bahwa untuk mencapai komitmen tersebut diharapkan sektor transportasi laut dapat menurunkan intensitas penggunaan energi sebesar 1 persen sebelum tahun 2030.
Karenanya, ia mengatakan usaha perikanan tangkap yang tidak lepas dari penggunaan armada kapal ikan diharapkan dapat berkontribusi dalam penurunan intensitas penggunaan energi. Namun kenyataan menunjukan bahwa data intensitas penggunaan bahan bakar pada armada perikanan belum tersedia.
Namun persoalannya pada Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 107 Tahun 2015 tentang Rencana Pengelolaan Perikanan Tuna, Cakalang dan Tongkol (TCT) menyebutkan bahwa perikanan tersebut merupakan tulang punggung industri perikanan tangkap yang berpeluang untuk bersaing di pasar dunia. Karenanya, ia mengatakan perlu ada solusi dari persoalan tersebut. (IFR/Republika)