YOGYAKARTA — Peneliti senior Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) Universitas Gadjah Mada (UGM) Muhadjir Darwin mengingatkan, seluruh elemen masyarakat bahwa shalat bukan untuk dijadikan sebagai instrumen politik. Namun, shalat itu adalah ibadah suci agama Islam yang sifatnya transendental, yang harus dijaga kesuciannya.
“Tidak pantas jika dikotori maknanya menjadi instrumen politik,” ujar dia saat ditemui di Kampus Program Doktor Studi Kebijakan UGM, Yogyakarta, Kamis (24/11).
Karena itu, pihaknya menyetujui fatwa Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang menyatakan bahwa kegiatan shalat di jalanan tidak sah. Menurut dia, sholat di luar tempat ibadah hanya dapat dibenarkan jika itu dilakukan pada kondisi darurat.
Misalnya, tempat ibadah yang ada rusak, mungkin karena gempa atau terkena bom di waktu perang. “Sementara saat ini, Indonesia berada di situasi normal, masjid ada banyak. Kita juga tidak dalam situasi perang atau situasi bencana. Jadi apa alasan shlat Jumat di jalan,” tanya dia.
Jika alasannya adalah karena para pendemo sedang dalam situasi darurat yaitu berdemo, hal itu terjadi karena rencana para pendemo itu sendiri, dan tidak masuk kategori darurat. “Kenapa demo dilakukan di jam shalat Jumat? Bukan sebelum atau setelahnya? Artinya, mereka punya alternatif tempat dan waktu. Jadi prinsip darurat tidak relevan digunakan dalam kasus ini,” ucap Muhadjir.
Lebih keliru lagi adalah, jika para pendemo tetap bersikeras menggunakan dan menjadikan shalat Jumat sebagai instrumen demo. “Itu tidak dapat dibenarkan sama sekali. Sebab sholat merupakan ibadah suci agama Islam yang tidak boleh dijadikan instrumen politik untuk kepentingan apapun,” tegas Muhadjir. (IFR/Republika)