News

BPP Kemendagri Terus Sempurnakan Draft RPP Inovasi Daerah

JAKARTA – Sebagai lembaga Penelitian dan Pengembangan, BPP Kemendagri dipercaya oleh Menteri Dalam Negeri untuk menyusun Peraturan Pemerintah mengenai Inovasi Daerah. Atas dasar itulah, BPP Kemendagri terus menyempurnakan draft RPP Inovasi Daerah yang akan diterapkan sebagai upaya memajukan inovasi di daerah.

Mengambil tempat di Hotel Millennium Jakarta pada 13-14 Oktober 2016, acara dilaksanakan dalam rangka pemantapan substansi RPP tentang Inovasi Daerah sebelum dilaksanakannya harmonisasi oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Acara tersebut juga terselenggara atas kerja sama BPP Kemendagri dengan KOMPAK (Kolaborasi Masyarakat dan Pelayanan untuk Kesejahteraan).

Selama penyelenggaraan, Tim Penyusun RPP Inovasi Daerah menerima beberapa masukan dari pakar dan ahli. Salah satunya, Tri Widodo Deputi Inovasi Administrasi Negara dari LAN (Lembaga Administrasi Negara) yang memberikan beberapa masukan terhadap draft RPP Inovasi Daerah. Selain Tri, hadir pula beberapa pakar dari lembaga yang sama seperti Abdul Muis dan Marsono. Selain dari LAN, pertemuan juga menghadirkan beberapa narasumber dari Kementerian Keuangan.

Dalam pertemuan tersebut, Tri mengapresiasi RPP Inovda yang hampir final tersebut. Ia juga mengatakan, draft RPP Inovda sudah mengusung semangat melayani, ketimbang semangat mengatur. Namun, ia juga menyebutkan masih terdapat beberapa hal yang perlu dipertajam terkait draft RPP tersebut. misalnya mengenai tujuan dan sasaran inovasi daerah.

“Saya menyarankan tujuannya kembali ke UU Pemerintah Daerah sebagai meningkatkan kinerja dan daya saing ekonomi daerah. Sebaiknya takaran sasaran inovasi daerah lebih terukur. Pertama, meningkatnya efektivitas dan efisiensi manajemen kerja pemerintah daerah. Kedua, meningkatnya kualitas publik, dan ketiga meningkatnya aktivitas perekonomian,” paparnya.

Ia juga mempertajam pengaturan terkait kebijakan SIDa (Sistem Inovasi Daerah) yang dituangkan dalam RPJMD (Rencana Program Jangka Menengah Daerah). Hal itu lantas langsung ditanggapi oleh Peneliti BPP, Hadi Supratikta yang mengatakan bahwa masuknya inovasi daerah ini ke RPJMD ini agar dapat menumbuh kembangkan inovasi daerah.

Sejatinya Hadi juga banyak setuju tentang beberapa masukan dari Tri, seperti masukan mengenai penataan unsur SIDa yang sebaiknya meliputi sumberdaya terlebih dahulu, jejaring, baru kemudian pelembagaan. “Jadi pada Pasal 9, saya menyarankan urutannya diubah. Lalu diberi penjelasan apa yang dimaksud dengan sumberdaya ini adalah anggaran, SDM, dan Pengetahuan. Jadi komponen daerah tidak hanya menyangka penataan sumberdaya SIDa tidak hanya meliputi anggaran dan SDM, tetapi juga pengetahuan,” jelas Tri.

Mengenai sumber daya, Tri menyarankan ada penjelasan lebih lanjut mengenai hal itu. Menurutnya sumber daya harus terbagi lagi ke dalam beberapa poin, seperti anggaran, SDM, pengetahuan, praktik baik, serta dokumentasi terhadap praktik baik tersebut.

Insentif Daerah

Selain membahas mengenai tujuan dan tahapan-tahapan inovasi daerah, rapat tersebut juga membahas mengenai insentif bagi daerah yang berhasil melakukan inovasi. Kepala Pusat Inovasi Daerah BPP Kemendagri, Rochayati Basra mengatakan, sebaiknya dalam rapat yang dihadiri oleh Kementerian Keuangan itu juga menghasilkan kesepakatan mengenai insentif daerah bagi pelaku inovasi yang selama ini sudah lama diajukan beriringan dengan perancangan RPP Inovasi Daerah itu.

Heri Sudarmano, dari Kementerian Keuangan mengatakan, terkait insentif tersebut, peraturan kementerian keuangan sudah final, dan tidak bisa lagi menambahkan variable dalam nomenklatur terkait insentif yang akan diberikan kepada pelaku inovasi. Selain sudah final, dana dana tidak mungkin diberikan mengingat anggaran negara yang tengah mengalami defisit.

Namun, Heri memberikan solusi, insentif bisa biberikan oleh masing-masing K/L terkait. Kementerian keuangan, tambahnya, hanya bisa membantu melalui DID (Dana Insentif Daerah) yang dianggarkan setiap tahunnya, melalui beberapa indikator penilaian yang dilakukan terhadap pelaksanaan pemerintah daerah.

Indikator tersebut di antaranya kesehatan fiskal dan keuangan daerah, kinerja dan pelayanan publik dalam bidang kesehatan, pendidikan, dan PU, serta kinerja ekonomi dan kesejahteraan. Menurutnya, mengenai insentif jelas sudah otomatis ada tanpa diatur lagi dalam RPP Inovasi Daerah.

“Sebagai contoh, ketika daerah melakukan inovasi dalam bidang keuangan, kesehatan, pendidikan dan sebagainya, yang sesuai dengan beberapa indikator penilaian di atas, atau dengan inovasi, suatu daerah bisa meningkatkan kinerja ekonomi dan mengangkat kesejahteraan daerah. maka secara otomatis akan menambah penilaian daerah itu sendiri, sehingga DID bisa didapat lebih besar oleh suatu daerah,” jelas Heri.

Hal itu juga langsung ditanggapi dalam forum aktif tersebut, Tri kembali menyarankan agar BPP Kemendagri perlu berbicara lebih lanjut mengenai makna insentif yang diajukan ke Kemenkeu. “Kita perlu sepakati soal makna insentif. Selama ini kita terlalu fokus pada anggaran keuangan, padahal insentif juga bisa non finansial. Kalau DID sebenarnya sudah berjalan dan sudah ada kriteria. Saya kira insentifnya lebih kepada kepala SKPD ke pegawai. Misalnya diberi kesempatan mengikuti program pelatihan gelar dan non gelar, atau kenaikan pangkat dipercepat. Hal ini tentu bisa dilakukan tanpa diintegrasikan dengan DID nomenklatur baru. Contohlah Yogyakarta yang memberi inovasi pada SKPD yang berhasil melakukan inovasi. Nah bagi yang tidak melalukan inovasi tidak diberi tambahan insentif bahkan dikurangi. Jadi tidak ada penganggaran baru hanya mengalokasi anggaran yang ada saja, tanpa membebani daerah maupun negara,” saran Tri.

Indikator Inovasi Daerah

Acara pemantapan substansi RPP Inovasi Daerah juga memaparkan model indicator pengukuran indeks inovasi daerah. Materi disampaikan oleh Marsono dari LAN. Ia memaparkan model pegukuran yang digunakan oleh LAN dalam menilai indeks inovasi di suatu daerah.

Marsono mengatakan, pengukuran indeks yang sudah dikonsep oleh pihaknya mengacu pada benchmark model-model pengukuran indeks yang ada di seluruh Dunia. Sehingga sangat relevan untuk diterapkan. Namun, menurutnya, pengukuran tersebut jauh dari sempurna, perlu pemantapan dan diskusi lebih lanjut, jika nantinya digunakan dalam RPP Inovasi Daerah yang tengah disusun.

“Pengukuran tersebut sudah sangat valid, dan lebih mudah. Yang tidak terlalu relevan dan rigid itu kita tinggalkan. Kita hanya mengambil yang pokoknya saja. Parameter penilaian inovasi daerah, seluruh indikator ada parameternya dari mulai input-proses-output-outcome, dan tentu saja perlu disiskusikan sesuai kebetuhan PP,” kata Marsono.

Marsono menambahkan pengukuran tersebut lebih kepada kajian LAN dengan mengutamakan problem solving, yang berawal dari idealisme LAN untuk menentukan indeks inovasi daerah. Pengukuran tersebut juga memuat konsep triple helix, namun tidak secara luas dan hanya dalam lingkup penyelenggaraan pemerintah daerah.

Pengukuran yang dipaparkan dalam kesempatan teresebut juga pernah diujicobakan di beberapa kota di Indonesia, seperti di blitar dan Pontianak. Penilaian juga dilakukan dengan tidak sembarangan dan secara objektif.

“Namun, penilaian tersebut terdapat beberapa kelemahan, sebagai contoh ketika dilakukan penilaian kepada para SKPD dan kepala dinas yang ada di Blitar, Jawa Timur, mereka tidak berani menilai pimpinan. Tetapi setelah dijelaskan mereka baru mau melakukan,” tukas Marsono.

Catatan KOMPAK

Terhadap draft RPP yang disusun, KOMPAK selaku lembaga yang memfasilitasi kegiatan tersebut memberikan beberapa catatan sebagai masukan yang diharapkan bisa memperkaya draft RPP tersebut. Direktur KOMPAK Bachtiar mengatakan, beberapa catatan tersebut di antaranya, yang terdapat dalam pasal 10 dan 30 terkait sistem informasi inovasi daerah. ia juga mempertanyakan seandainya terdapat sistem yang sama pada kementerian dan lembaga.

Selain itu, KOMPAK juga mempertanyakan konsistensi pada BAB 4 yang kemudian berubah menjadi usulan inovasi daerah pada pasal 11, yang sebelumnya dari pasal 1 tidak menggunakan kata ‘usulan’. Kompak juga menyoroti perlindungan hukum yang menurutnya, apa yang dikatakan Tri Widodo perlu dipertimbangkan, yakni tidak merugikan negara, penyelahgunaan wewenang, dan tidak adanya niat jahat.

“Kalau hanya dua pasal ini tidak akan terlalu melindungi. Selalu ditekankan pelindungan, kalau hanya seperti ini, dibacanya beda,” tegas Bachtiar. (IFR/MSR)

Join The Discussion