Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) mengirimkan 20-30 orang setiap tahun ke Rusia untuk melakukan studi terkait pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN). Bukan hanya dari Batan, ada pula perwakilan dari perguruan tinggi Indonesia yang secara khusus ke Rusia untuk belajar tentang PLTN.
Kepala Batan Djarot S Wisnubroto menerangkan, upaya tersebut untuk meningkatkan pemahaman terkait pengembangan PLTN.
“Sebenarnya setiap tahun mengirim 20-30 orang ke Rusia. Tidak hanya Batan saja, dari Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten), dari beberapa universitas dan dari lembaga lain,” kata dia dalam acara bertajuk “Teknologi Nuklir: Workshop untuk Media” di Jakarta, Selasa (11/10/2016).
Dia menerangkan, pemerintah sendiri telah menjalin kerja sama dengan Rusia, khususnya dengan badan usaha milik pemerintah Rusia Rosatom. Kerja sama tersebut berupa peningkatan kapasitas sumber daya manusia (SDM). Namun, dia mengatakan pemerintah Indonesia belum memutuskan untuk membangun PLTN.
“Kerja sama Rosatom dan Batan atau Rusia dan Indonesia itu lebih bagaimana capacity building SDM. Kita diberikan pengetahuan pengalaman karena Rusia mempunyai beberapa PLTN dan pengetahuan bagaimana membangun PLTN. Jadi kita belum ke arah membangun PLTN,” kata dia.
Terkait dengan kesiapan Indonesia membangun PLTN, dia mengatakan sebenarnya Indonesia memiliki modal dari segi SDM. Pasalnya, Indonesia memiliki beberapa perguruan tinggi di bidang nuklir, seperti Universitas Gadjah Mada (UGM), Institut Teknologi Bandung (ITB), dan Universitas Indonesia (UI).
“UI terutama dari bidang proteksi radiasi,” ungkap dia.
Terkait lokasi, dia menuturkan Batan telah melakukan beberapa studi wilayah di Indonesia. Namun, untuk teknologinya, Indonesia harus mengadopsi dari negara lain.
“Dari sisi lokasi kita sudah melakukan studi tapak di beberapa lokasi, tinggal pilih mana. Dari sisi teknologi otomatis bisa adopsi Rusia, Jepang, Korea, Tiongkok atau Amerika,” kata dia. (IFR/Liputan6.com)