JAKARTA— Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi mendesak untuk diganti. Sejak diberlakukan hampir 15 tahun, undang-undang itu belum berdampak signifikan bagi pembangunan iptek dan industri di Indonesia
Selain itu, aspek kelembagaan iptek belum diatur, termasuk Dewan Riset Nasional (DRN). Hal itu dikemukakan kepala DRN Bambang Setiadi. “Berbagau kalangan menilah roh UU No 18/2002 tak kuat sebagai penghela gerakan iptek nasional untuk berpacu dengan negara lain,” ujarnya. Meski pertumbuhan nasional dua dekade 4-6 persen, pendapatan nasional Indonesia di bawah negara makmur yang tumbuh 0-2 persen.
Kelemahan UU itu antara lain tak mengaitkan secara jelas riset dan kebutuhan publik. Kinerjanya dikeluhkan publik, investor, serta pelaku industri dan bisnis. Menurut Bambang, perubahan UU itu penting terkait penggabungangan Kementerian Riset dan Teknologi serta Dirjen Pendidikan Tinggi. UU yang baru harus perkuat akselarasi sistem inovasi nasional sampai komersialisasi.
Selain itu, UU perlu mengatur koordinasi DRN dan pemerintah. Jadi, dewan itu perlu diubah jadi Dewan Riset dan Inovasi Nasional karena melaksanakan pengembangan kebijakan, strategi, dan perencanaan tak sebatas riset, tetapi juga inovasi dan merekomendasikan alokasi pembiyaan semua rantai inovasi mencakup riset dasar hingga diseminasi inovasi teknologi. “Perbaikan UU No 18/2002 harus jelas serta tegas memosisikan peran dan kegiatan inovasi,” ujarnya.
”Pemikiran berkembang tak hanya merivisi UU, tapi mengganti,” kata Sekretaris Ditjen Penguatan Riset dan Pengembangan Kemristek dan Dikti Prakoso. Kini, UU pengganti UU No 18/2002 dibahas. RUU disusun panitia antar kementerian, melibatkan 11 kementerian dan sejumlah Perguruan Tinggi.
Sumber: Harian Kompas