Oleh : Heriyandi Roni*
Penelitian dan pengembangan (Litbang) berperan penting dalam mendorong kemajuan suatu negara. Hasil litbang yang akurat dalam bentuk konsep, model, skenario, maupun pilihan kebijakan yang tepat dapat menjadi rekomendasi dalam mengatasi berbagai masalah yang timbul di suatu negara mulai dari perubahan iklim, krisis pangan dan energi hingga solusi dalam rangka meningkatkan produktivitas di berbagai sektor pembangunan. Tidak mengherankan jika pengambil kebijakan di negara-negara maju umumnya terlebih dulu melakukan kegiatan penelitian dan kajian sebelum merumuskan, membuat, dan menetapkan suatu kebijakan pemerintah (policy).
Sayangnya di Indonesia, kelembagaan litbang belum menjadi garda terdepan sebagai lembaga think thank dalam merumuskan kebijakan pemerintah. Meskipun lembaga litbang berperan dalam menghasilkan berbagai kajian dan penelitian, namun konsep, model, dan pilihan kebijakan yang dihasilkan masih kurang atau bahkan jarang dimanfaatkan sebagai dasar dalam formulasi dan penetapan kebijakan oleh para pengambil kebijakan. Lemahnya peran lembaga litbang untuk turut menentukan arah dan strategi pembangunan dilihat dari kebijakan dan langkah yang diambil oleh instansi pemerintah baik di pusat maupun daerah tanpa melalui kajian dan litbang (research based policy).
Pentingnya peran lembaga litbang tersebut terangkum pada UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang tercantum pada Pasal 209 dan 219. Amanah tersebut menyebutkan, pentingnya pembentukan badan daerah untuk melaksanakan fungsi penunjang urusan pemerintahan yang meliputi perencanaan, keuangan, kepegawaian dan pendidikan, serta pelatihan dan penelitian pengembangan.
Selain itu, pada Pasal 373 dan Pasal 374 menyatakan BPP (Badan Penelitian dan Pengembangan) juga berfungsi sebagai salah satu instrumen pembinaan penyelenggaraan pemerintahan daerah, yang selanjutnya pada Pasal 388 juga menyebutkan sebagai penilaian inovasi daerah. Peraturan pelaksanaan pada tingkat Peraturan Pemerintah yang juga mengatur tentang fungsi dan peran BPP daerah, hingga saat ini juga sedang dibahas menjelang penetapan RPP OPD (Organisasi Perangkat Daerah) berlandaskan UU No 23 Tahun 2014.
Pentingnya BPP juga berdasarkan alasan teoretikal. Berkaitan dengan fungsi research & development dalam konsep manajemen strategis yaitu peran litbang dalam melakukan skanning lingkungan internal dan eksternal sebagai dasar perencanaan (planning by research), fungsi formulasi kebijakan (formulating policy), dan fungsi kontrol (controlling). Dalam konteks manajemen pembangunan nasional dan daerah, BPP berperan menghasilkan berbagai proxy, model, dan pilihan kebijakan yang dapat digunakan oleh pengambil kebijakan di pusat dan daerah. Baik itu untuk perencanaan, perumusan kebijakan, serta pembinaan dan pengawasan pembangunan.
Namun ada beberapa faktor yang menjadi hambatan dan masalah dalam upaya membangun BPP yang kuat di Indonesia. Pertama terbatasnya sumberdaya peneliti. Rasio jumlah peneliti terhadap jumlah penduduk di Indonesia tergolong kecil, hanya 4,7 per 10 ribu penduduk. Sementara di Malaysia ada 18 peneliti per 10 ribu penduduk, dan di negara-negara maju mencapai 80 peneliti per 10 ribu penduduk. Selain itu, jumlah peneliti di instansi pemerintah juga belum memadai untuk mendukung kegiatan litbang. Misalnya di Kemendagri sendiri, hanya memiliki peneliti sebanyak 285 orang yang tersebar di pusat dan daerah (sumber: www lipi go.id). Tidak hanya itu, di Indonesia juga rendah dalam publikasi hasil litbangnya. Dilihat dari jumlah publikasi peneliti Indonesia pada jurnal-jurnal internasional hanya 522 paper, hal itu sangat jauh berbeda jika dibandingkan dengan negara tetangga seperti Singapura 5781 paper, Thailand 2397 paper, dan Malaysia 1483 paper (Widodo, 2012).
Kedua, masalah dukungan anggaran untuk aktivitas litbang di Indonesia juga masih tergolong rendah. Indonesia menduduki peringkat nomor 3 terendah di dunia setelah Nikaragua dan Zambia. Tercatat pada periode 2004-2005 anggaran litbang hanya sebesar 0,05% dari Produk Domestik Bruto yang sebelumnya tersedia 0,09% pada 2012. Dukungan anggaran litbang sangat kecil jika dibandingkan dengan negara ASEAN seperti Singapura, yaitu sebesar 2,6% dari PDB, dan Malaysia 0,8% dari PDB. Sedangkan Jepang dan Korea masing-masing mencapai 3,4% dan 3,6% dari PDB.
Penurunan dana litbang juga terasa. Pada 2011 misalnya, dana riset berjumlah 435 miliar dari sebelumnya 453 miliar pada 2010, dan 1, 2 triliun pada 2009. Jelas struktur pembiayaan penelitian demikian, tidak realistis untuk membiayai bahan, peralatan, dan gaji para peneliti yang terkesan hanya sebagai ‘dana bantuan’ kepada peneliti (Widodo, 2012).
Ketiga, hambatan kultural birokrasi. Rendahnya kesadaran pengambil kebijakan untuk…
(selengkapnya baca MediaBPP edisi Juli 2016)