JAKARTA – Mengawali pemilu gelombang kedua, pemerintah dalam negeri mulai bersiap menata dan menyiapkan pemilu. Salah satunya adalah berkaca pada Pileg dan Pilpres 2014. Menurut Didik Supriyanto Ketua Perludem, langkah politik strategis dalam mempersiapkan pemilu ke depan adalah dengan berkaca pada proses dan hasil pemilu terdahulu.
Seperti yang terjadi pada Pemilu 2014. Pada pemilu tahun tersebut misalnya, rekrutmen petugas pemilu sebanyak 3,8 juta petugas TPS yang tersebar di 545.778 TPS seluruh Indonesia. Ada 405 ribu petugas PPS (Panitia Pemungutan Suara) di 81.034 PPS, 35 ribu petugas PPK di 6.980 PPK, 2.560 anggota KPU-K (Komisi Pemilihan Umum – Kota) di 512 kota, 165 anggota KPU-P (Komisi Pemilihan Umum – Provinsi) di 33 provinsi, dan 7 anggota KPU di KPU pusat.
“Dari sekian data tersebut, 65 persen biaya pemilu untuk bayar honor petugas,” katanya dalam FDA (Forum Diskusi Aktual) yang diselenggarakan oleh Bidang Politik Pusat Otonomi Daerah, Politik, dan Pemerintahan Umum BPP Kemendagri pada, Rabu (13/04).
Biaya tersebut termasuk 405 ribu pengawas lapangan, 31 ribu pengawas kecamatan, 1.536 anggota Panwas-Kota, 9 anggota Bawaslu Provinsi, dan 5 anggota Bawaslu. “Petugas pemilu dibayar per event, bukan berdasar volume pekerjaan. Anggaran negara membengkak dari hasil Pileg, Pilpres, Pilgub, dan Pilwali kemarin,” ungkapnya.
Sementara rasionalitas pemilih rusak dengan banyaknya jual beli suara sentimen SARA dan premanisme. “Terlalu banyak partai dan calon yang sangat banyak sehingga koalisi partai tidak jelas dasarnya. Pada Pilpres misalnya, banyak persaingan partai yang berubah kerja samanya,” tuturnya.
Hal itu ditambah dengan 75 persen dari 2.192 jenis surat suara dengan jumlah 186 juta pemilih yang tidak memunyai preferensi partai dan calon. Untuk itu Didik menyarankan agar penyelenggaraan Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah dibarengi. “Dengan begitu, beban penyelenggaraan akan seimbang, menghemat negara, menekan biaya politik, dan menghindari konflik partai berkelanjutan,” tutupnya. (IFR)