News

Kemendagri Tunggu Salinan Putusan MA untuk Lantik Rano Karno

Jakarta – Mahkamah Agung (MA) memperberat hukuman Gubernur Banten nonaktif Ratu Atut Chosiyah dari 4 tahun menjadi 7 tahun penjara. Putusan yang bersifat inkrah ini, membuat Plt Gubernur Banten Rano Karno bisa diangkat secara definitif. Bagaimana prosedurnya?

Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Dodi Riyadmadji, menuturkan pengangkatan Rano Karno menjadi Gubernur Banten definitif menunggu salinan putusan dari MA.

“Kita tidak bisa mengetahui salinannya kapan terbit, karena pengalaman sebelumnya ada yang tiga bulan, enam bulan, satu tahun. Makanya berbeda dengan keputusan MK yang saat dibacakan langsung ada print out salinannya,” kata Dodi kepada detikcom, Senin (23/2/2014).

Dodi menerangkan, secara prosedur setelah Kemendagri menerima salinan putusan itu, maka akan diusulkan kepada Presiden Joko Widodo tentang pemberhentian Ratu Atut dan pengangkatan Rano Karno sebagai Gubernur Banten definitif.

“Jadi nanti kalau salinan putusan sudah di tangan Mendagri, akan diusulkan kepada Presiden untuk pemberhentian tetap (Atut dari Gubernur Banten),” ujarnya.

Dodi menegaskan, status Plt dengan Gubernur definitif sangat berbeda dalam hal kewenangan yang dipegang. Maka Rano akan mempunyai kewenangan lebih seperti gubernur lain setelah salinan putusan MA diterima Kemendagri dan surat dari Presiden terbit.

“Makanya segera bantu dapat salinan putusannya supaya cepat,” ucap Dodi.

Sebelumnya, Mahkamah Agung (MA) memperberat hukuman Gubernur Banten nonaktif Ratu Atut Chosiyah dari 4 tahun menjadi 7 tahun penjara. Ratu Atut menyuap Ketua MK Akil Mochtar untuk memuluskan perkara yang ditangani MK dalam sengketa pilkada.

“Baru saja diketok. Hukuman Ratu Atut Chosiyah dari penjara selama 4 tahun diperberat menjadi 7 tahun penjara,” kata hakim ad hoc tipikor Mahkamah Agung (MA) Prof Dr Krisna Harahap kepada detikcom, Senin (23/2/2015) sekitar pukul 17.40 WIB. Duduk sebagai ketua majelis Artidjo Alkostar dengan anggota majelis MS Lumme dan Prof Dr Krisna Harahap.

Sumber : www.detik.com