News

Mendorong Pelayanan Desa Lebih Profesional

JAKARTA – Kemajuan peradaban manusia menuntut dilaksanakannya inovasi di berbagai sektor, tak terkecuali pemerintahan desa. Karenanya diperlukan ikhtiar yang masif guna menjalankan roda pemerintahan secara profesional. Ikhtiar tersebut diterapkan agar pelayanan publik dapat berjalan secara optimal. Sehingga dengan itu masyarakat lebih sejahtera. Demikian disampaikan Sekretaris Badan Litbang Kemendagri, Kurniasih, dalam agenda Seminar Kajian Penilaian Kinerja Pemerintahan Desa yang berlangsung di Aula Badan Litbang Kemendagri, Rabu (5/5/2021).

Menurut Kurniasih, substansi dari pelaksanaan pelayanan publik sejatinya berlangsung di desa. Sebab hal tersebut telah menyasar kebutuhan masyarakat. Sehingga, penting bagi pemerintah desa untuk meningkatkan pelayanannya menjadi lebih optimal dan inovatif. Apalagi, perkembangan zaman saat ini tengah mengalami kemajuan dari era 4.0 menuju 5.0. Ihwal kondisi pelayanan pemerintahan desa, Kurniasih mencontohkan situasi yang terjadi di Kabupaten Banyuwangi beberapa waktu lalu. Saat itu, demi mendorong tuntasnya pelayanan desa lebih cepat, sang bupati harus berkantor di desa tersebut selama satu minggu. “Masa iya kepala desa yang telah disumpah untuk melayani masyarakat, perlu ditinjau langsung oleh bupati agar urusan desa selesai? Inilah tantangan yang harus dihadapi ke depan,” kata Kurniasih memaparkan.

Kurniasih menambahkan, ketidakprofesionalan pemerintah desa dalam memberikan pelayanan juga dialaminya sendiri. Saat itu dirinya tengah mengurus administrasi di desa. Namun justru tidak memiliki kewajiban dalam membayar biaya pajak bumi dan bangunan (PBB). “Saat itu mungkin situasinya menguntungkan buat saya. Tapi sebagai objek pajak, seharusnya hal ini bisa menunjang pendapatan daerah,” tambahnya.

Berkaitan dengan hal tersebut, Kurniasih mengatakan agar segenap stakeholder memberikan dukungan pengetahuan bagi pemerintah desa. Sebab, dikatakannya saat ini pelayanan di desa masih tidak sesuai. Misalnya, durasi bekerja yang sejatinya berlangsung sehari penuh, kerap selesai pada pukul 12.00 siang.

Persoalan lainnya yang juga menjadi catatan yakni merenggangnya kedekatan pemerintah desa dengan masyarakat. Kepala desa dinilai bisa menjalin kedekatan hanya ketika proses pemilihan kepala desa berlangsung. Kondisi tersebut menjadikan masyarakat tidak mengenali pemimpinnya. Padahal, menurut regulasi, pemerintah desa berkewajiban memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Berbagai bentuk realitas tersebut, tambah Kurniasih, seyogyanya tidak hanya menjadi kajian ihwal revisi undang-undang pemerintahan desa. Namun menjadi cambuk agar terus mendorong trobosan pemerintah desa lebih profesional. Selama lima tahun ke belakang, dinilai banyak tuntutan sekretaris desa agar diubah statusnya menjadi aparatur sipil negara (ASN). Dengan ketentuan tersebut, nantinya pemerintah desa secara tidak langsung harus tunduk pada undang-undang ASN. Termasuk dalam hal jam kerja. “Hal inilah yang tentunya menjadi kajian menarik,” katanya.

Selain itu, Kurniasih juga menyoroti salah satu desa yang dinilai kurang profesional di Kota Bogor. Saat itu banyak masyarakat yang melakukan demonstrasi ketika pembagian bantuan langsung tunai (BLT). Sebab, pelaksanaannya diyakini tidak transparan. Karena itu, asistensi pengetahuan ke sektor desa perlu dilakukan. Di samping juga turut mendorong agar desa senantiasa melakukan trobosan baru.

Berkaitan dengan desa inovatif, dikatakannya ada salah satu desa yang dinilai berhasil melaksanakan trobosan brilian. Yaitu dengan mengenalkan budidaya anggur di kawasan tersebut. Para pengunjung yang datang ke desa itu dapat memetik dan mengonsumsi anggur. Sehingga, melalui ikhtiar agribisnis itu, secara tidak langsung desa tersebut telah bersiap untuk menyongsong kemajuan zaman. “Ini adalah bentuk inovasi agrobisnis menarik dalam mempersiapkan era revolusi industri 5.0,” tukasnya.

Urgensi Inovasi di Desa

Seperti diketahui desa merupakan layanan pemerintahan paling dasar. Pada pelaksanaan pemerintahannya, diperlukan inovasi menyeluruh guna meraih pendapatan bagi desa. Kurniasih mencontohkan kondisi krisis yang terjadi di tahun 1997-1998. Ketika resesi menerjang Indonesia, ekonomi masyarakat tertolong oleh geliat UMKM. “Dan UMKM itu kita tahu kebanyakan masyarakatnya berasal dari desa,” jelas Kurniasih.

Dirinya mendorong agar kepala desa lebih sering melakukan studi banding ke kawasan lain. Utamanya pada desa yang dinilai lebih inovatif dan maju. Dengan ikhtiar tersebut, wawasan tentang bagaimana memberikan pelayanan yang baik untuk masyarakat dapat tersebar merata. Selain itu, di tataran regulasi agar dipikirkan secara bersama lintas stakeholder. Sebab kajian pengurusan tentang desa dilakukan oleh Kemendagri dan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.

Untuk itu pihaknya berharap pada kajian tersebut bisa menghasilkan rumusan kebijakan guna membangun kualitas pemerintah desa. “Saya harap pada kesempatan kali ini kita bisa menghasilkan gagasan, kesimpulan, dan saran yang bisa disampaikan ke Pak Menteri. Saya yakin Pak Rian dan narasumber lainnya bisa memberikan banyak pencerahan terkait itu,” pungkasnya.

Sementara itu Pengamat Kebijakan Publik dan Pemerintahan Desa Riant Nugroho mengatakan pemerintahan desa memungkinkan dinilai berdasarkan Penilaian Kinerja Pemerintahan Desa (PKPD). Namun hal itu memerlukan catatan di mana pengukuran penilaiannya berdasarkan masyarakat. Sebab, jika hanya mengacu pada sudut pandang pemerintahan, hal itu belum tentu selaras dengan kesejahteraan masyarakat.

“Konsep pengukuran kinerja pemerintahan desa yang lebih dilihat dari sudut pandang birokrasi pemerintahan supradesa, biasanya kurang memberi peluang terhadap persepsi masyarakat sebagai subyek dan obyek dari penyelenggaraan pemerintahan desa,” tukasnya.

Seperti diketahui, dalam seminar tersebut hadir pula Ketua Umum Rumah Kreasi Indonesia Hebat Marketplace Desa Kami Kris Budihardjo, dan Analis Kebijakan Madya Bidang Pemerintahan Desa Gatot Tri Laksono, serta Peneliti Ahli Pertama BPP Kemendagri Worry M. Manoby. (AF)

Join The Discussion