Dikutip dari tempo.co, Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) dan Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Bambang Brodjonegoro mengungkap ragam masalah riset di Indonesia. Sebuah masalah yang membuatnya risau adalah soal kenapa banyak hasil riset yang tidak tersambung ke kalangan industri.
Saat berpidato di acara Sidang Paripurna Majelis Senat Akademik 11 Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH) di Bandung, Senin, 9 Desember 2019, Bambang menunjukkan data. Anggaran riset dari pemerintah di Singapura misalnya 11,4 persen, sementara swastanya 61 persen. Adapun dana pemerintah Thailand kurang dari 10 persen dan swastanya 70 persen.
Di Indonesia, komposisinya terbalik. Anggaran dari pemerintah untuk riset mencapai 84 persen, swasta cuma 9 persen. “Ini yang menjawab pertanyaan kenapa riset kita banyak nggak nyambung sama swasta,” katanya.
Menurut Bambang, karena risetnya banyak dibiayai pemerintah, kebanyakan juga untuk keperluan pemerintah, atau sesuai proposal yang diajukan pusat riset. “Akhirnya mohon maaf, riset untuk kepuasan institusi, pribadi, atau yang paling tipikal bikin riset supaya kum naik jadi lektor atau guru besar,” kata Menristek.
Kum kependekan dari kumulatif maksudnya angka kredit untuk kenaikan pangkat dosen dari pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat atau tri dharma perguruan tinggi.
Di Singapura dan Thailand, kata Bambang, risetnya dianggap menjawab kebutuhan industri. Swasta butuh riset untuk produk mereka agar lebih bagus dan saintifik. Uangnya dari swasta untuk kebutuhan swasta. “Indonesia harus berubah dari (mengandalkan dana) pemerintah ke swasta, caranya dengan tax reduction,” kata mantan Menteri Keuangan itu.
Pengusaha, menurutnya, sangat membutuhkan keringanan pajak dari pemerintah. Diharapkan keinginan itu menjadi solusi masalah riset di negeri ini.
Bambang juga mengungkapkan pusat penelitian di pemerintahan ada 330 yang tersebar di kementerian dan lembaga. Jumlah yang masuk pusat unggulan iptek kurang dari setengahnya atau 160 tempat. “Disparitas tidak baik, anggaran tersebar di banyak tempat,” katanya.
Adapun dana riset dari pemerintah sebesar 0,025 persen dari produk domestik bruto (GDP) Rp 15 ribu triliun, atau sekitar Rp 37,5 triliun. Dana sebesar itu, kata Bambang, termasuk untuk gaji dan dan perawatan fasilitas riset. Dana riset yang murni masih terbatas.
Menristek membeberkan masalah lainnya, seperti jumlah peneliti yang masih sedikit. “Per 1 juta penduduk kita punya 1.071 peneliti,” kata Bambang.
Produktivitas, rasio kandidat sumber daya manusia ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) disebutnya masih rendah. Pun mobilitas peneliti, kapasitas, dan kompetensi riset. “Kalau mau jujur antar-PTNBH ego universitasnya sangat kuat sehingga kerja sama penelitian agak susah.”
Tidak hanya itu, peneliti dari perguruan tinggi dan lembaga penelitian belum erat bekerja sama. Bambang meminta Senat Akademik perguruan tinggi untuk memudahkan kerja sama peneliti antarlembaga. “Sejak kuliah saya tahu kelompok peneliti lembaga bukan satu liga dengan peneliti di kampus,” katanya.
Penggabungan, menurutnya, akan mengoptimalkan hasil riset. “Kalau MIT sama Stanford nggak mau kerja sama wajar, karena peringkatnya tertinggi di dunia.”