Dikutip dari medcom.id, Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), Satryo Soemanteri Brodjonegoro mengaku kurang setuju dengan rencana pemerintah menahan tunjangan kehormatan bagi guru besar yang tidak memenuhi target publikasi. Pasalnya penelitian itu sendiri tidak dapat dipastikan dapat rampung dalam kurun waktu singkat atau panjang.
“Jangan (ditahan) dong, tiga tahun enggak (bisa) diprediksi. Penelitian tidak bisa dijadwal, penelitian penuh dengan ketidakpastian. Dan pengerjaanya tidak dipastikan ada, bisa ketemunya tahun depan,” ujar Satryo di Hotel Grand Sahid, Jakarta Pusat, Selasa, 15 Oktober 2019.
Selain itu, ia menyebut tidak semua guru besar dapat menghasilkan penelitian dalam bentuk makalah. Lantaran terdapat guru besar dengan latar belakang ilmu noneksakta, seperti kesenian atau kebudayaan.
“Membuat publikasi bukan sesuatu yang semua orang bisa cepat lakukan. Ada bidang-bidang yang tidak mudah membuat publikasi internasional, lebih kental pada kebudayaan, sejarah,” jelasnya.
Ia khawatir jika guru besar dengan latar belakang noneksakta harus dipaksakan membuat publikasi internasional akan berpotensi penelitian yang diada-adakan. Bisa-bisa guru besar tersebut melakukan penelitian diluar ilmu yang dikuasi untuk menghindari sanksi penahanan tunjangan.
“Pengkarya, seniman karya dia bukan paper, ada bidang seni, perguruan papernya susah, jangan disamakan. Akhirnya mereka ngarang. Jadi di bidang seni mereka ngarang di bidang lain,” tuturnya.
Mantan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) ini menyarankan agar guru besar diberikan insentif ketika akan membuat publikasi internasional. Pada dasarnya melakukan publikasi internasional bukanlah suatu keharusan.
“Kasih (insentif) dengan dasar publikasi. Jangan diwajibkan menulis, terus (jika)enggak memenuhi lantas dapat penalti. Tapi kesempatan kalau menulis dapat isentif, kan lebih simpatik gitu,” tuturnya.
Nantinya jika dirasa penelitian tidak terlaksana dengan baik, jangan diberikan insentif bagi yang bersangkutan untuk melakukan penelitian. “Kalau saya memberikan insentif agar dia bisa lebih aktif untuk publikasi bagus. Tapi jangan diberikan sanksi,” usulnya.
Sebelumnya, Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti), Mohamad Nasir mengatakan Permenristekdikti Nomor 20 Tahun 2017 tentang Pemberian Tunjangan Profesi Dosen dan Tunjangan Kehormatan Profesor sedang dievaluasi. Salah satu poin evaluasi, terkait jumlah publikasi riset akan memengaruhi tunjangan kinerja profesi.
“Evaluasi ini di 2019 nanti siapa yang tidak mencapai publikasi akan kita pending (ditunda) tunjangannya,” kata Nasir dalam evaluasi kinerja triwulan III tahun 2019 di Gedung Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti), Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, Senin 14 Oktober 2019.
Dalam Permenristekdikti 20 tahun 2017 disebutkan tunjangan kehormatan profesor akan diberikan jika memenuhi syarat yakni memiliki paling sedikit satu publikasi ilmiah di jurnal bereputasi internasional atau tiga publikasi ilmiah di jurnal nasional dalam kurun waktu tiga tahun terakhir. Jika tak memenuhi persyaratan, maka tunjangan tersebut akan dihentikan sementara.
Revisi Permenristekdikti terkait tunjangan kehormatan profesor dikaitkan pertama kali diterapkan akhir 2019. Jumlah dosen Indonesia saat ini tercatat 283.653 orang, 5.463 di antaranya profesor, 58.986 lektor, dan 32.419 merupakan lektor kepala.