Dikutip dari liputan6.com, Jerman menjadi salah satu negara yang fokus pada pengembangan riset ilmu pengetahuan. Ini ditunjukkan dari lembaga riset di Jerman yang mencapai lebih dari 1.000 lembaga. Selain itu, 65 persen anggaran di Jerman untuk pembiayaan riset.
Hal ini dapat dimanfaatkan oleh para mahasiswa dan tenaga pendidik (dosen) sebaik mungkin. “Jerman dikenal dengan julukan Land of Idea, tanah ide, di mana orang-orang di sana sangat peduli dengan riset ilmu pengetahuan,” ujar Dr rer nat Edwin Setiawan Ssi MSc selaku DAAD Research Ambassador, Kamis (10/10/2019).
Di Jerman, terdapat empat lembaga riset ternama, di antaranya Max Planck Society, Leibniz Association, Helmholtz Association dan Fraunhofer-Gesellschaft.
Empat lembaga ini memiliki fokus riset yang berbeda. Max Planck Society berfokus pada riset di bidang ilmu alam, ilmu kemasyarakatan serta sastra dan telah didukung oleh 84 lembaga. Institusi ini juga telah memiliki sebanyak 14.036 peneliti dan 4,7 persennya merupakan peneliti dari negara luar.
Sedangkan Leibniz Association berfokus pada pengembangan riset di bidang ilmu alam, teknik lingkungan, ekonomi, ilmu spasial dan sosial humaniora. Leibniz memiliki 91 institusi pendukung dan 9.872 peneliti yang 20 persen di antaranya merupakan peneliti dari negara luar Jerman.
Berbeda dengan kedua lembaga yang tersebut, Helmholtz Association di Jerman berfokus pada riset di bidang energi, bumi dan lingkungan, kesehatan, serta transportasi. Helmholtz memiliki 18 pusat riset dan 39.193 peneliti yang 7.500 di antaranya adalah peneliti internasional. Yang terakhir adalah Fraunhofer-Gesellschaft yang telah bekerja sama dengan 72 institusi dan memiliki 25.327 peneliti.
Edwin menuturkan, mahasiswa jenjang S2 dan S3 memegang peluang terbesar untuk dapat mengikuti program ini. Namun, tak menutup kemungkinan bagi mahasiswa S1 maupun tenaga pendidik untuk dapat ikut serta.
“Peluang terbesar riset yang paling besar di Jerman ada di bidang industri, tapi tak menutup kemungkinan bagi institusi universitas untuk mendapat porsi yang besar juga,” ungkapnya memotivasi.
Secara umum, lanjut Edwin, mahasiswa yang ingin mengikuti program riset ini harus memiliki kontak korespondensi dengan profesor di Jerman dan membuat proposal pengajuan risetnya. Informasi lebih lanjut mengenai program riset ini dapat diakses secara daring di laman resmi DAAD, dan bagi mahasiswa ITS dapat memperoleh informasi melalui ambassador DAAD di kantor Direktorat Hubungan Internasional atau ITS International Office (IO).
Program riset ini dibagi menjadi dua tipe. Pertama, program yang melakukan riset penuh di Jerman. Kedua, mengikuti program sandwich, yaitu menempuh pendidikan di Indonesia dan melakukan praktikum di Jerman.
Di sinilah, kata Edwin, kerap dihadapi tantangan dalam pelaksanaan program riset ini. Yakni negosiasi topik riset antara mahasiswa yang melaksanakan riset dengan profesor yang menjadi kolega dalam pelaksanaannya.
“Bagi mahasiswa yang mengikuti program sandwich, maka negosiasi dilakukan antara profesor di institusi universitas asal dan profesor yang ada di Jerman,” papar Edwin.
Terakhir, dengan melihat besarnya peluang melakukan riset ke Jerman melalui program yang dilaksanakan DAAD ini, Edwin berharap akan semakin banyak mahasiswa yang melakukan studi lanjut, internship, dan melaksanakan riset di Jerman. Selain itu, ia juga berharap para dosen dapat mengikuti program riset dan bekerja sama dengan profesor-profesor di Jerman.