Dikutip dari beritasatu.com, Pemerataan layanan kesehatan hanya terjadi di Pulau Jawa dan daerah kaya lainnya di Indonesia. Pemerataan itu tidak terjadi di daerah pinggiran atau terpencil.
Hal itu terungkap dalam penelitian Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) Fakultas Kedokteran Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan FK-KMK, Universitas Gadjah Mada (UGM) tentang Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) BPJS yang belum mampu mencapai keadilan sosial seperti diamanahkan perundang-undangan.
Penelitian itu disampaikan dalam work shop JKN dan Pemerataan Kuratif, Selasa (8/10/2019), di Gedung Penelitian dan Pengembangan FK-KMK UGM. Work shop bertujuan menelaah pelaksanaan kebijakan JKN 2019.
Kepala PKMK FK-KMK UGM, Prof Laksono Trisnantororo menerangkan, selama ini defisit yang terjadi pada BPJS diakibatkan tidak adanya batasan paket manfaat dalam JKN.
Penelitian itu menemukan defisit BPJS terjadi karena tidak ada batasan paket manfaat dalam JKN serta kebijakan kompensasi yang tidak dapat diimplementasikan untuk daerah yang sulit terjangkau karena BPJS kesulitan dana.
Pemerintah berencana menaikkan iuran BPJS tahun depan untuk menutupi defisit BPJS Kesehatan. Tahun 2016, defisit mencapai Rp 9,7 triliun, 2017 mencapai Rp 9,75 triliun, 2018 sebesar Rp 9,1 triliun, dan 2019 diperkirakan Rp 18,9 triliun.
Laksono Trisnantoro memaparkan, defisit JKN akan terus terjadi selama pemerintah daerah tidak berperan aktif menutup dana defisit tersebut. Ditambah persoalan pemanfaatan dana yang salah sasaran dan ketidakpatuhan peserta BPJS mandiri membayar iuran.
“Sejak awal kita prediksi program JKN bisa defisit, sebab dana BPJS lebih banyak diberikan pada kelompok masyarakat mampu,” kata Laksono.
Dikatakan, sekitar 30 juta peserta bukan penerima upah (PBPU) mayoritas adalah masyarakat yang tergolong mampu yang diperkirakan sekitar 45% menunggak pembayaran.
Meski jumlah peserta mandiri ini hanya 14,7% dari total kepesertaan JKN, namun peserta dari kelompok ini paling banyak memberikan defisit pada BPJS. Bahkan dana BPJS yang berasal dari APBN untuk membiayai masyarakat miskin atau penerima bantuan iuran (PBI) selama juga digunakan untuk menutupi biaya kesehatan bagi peserta mandiri.
“Dana PBI dipakai kelompok mandiri. Sebaiknya dipakai untuk orang miskin saja bukan yang kaya,” kata Laksono.
Ia mencontohkan program jaminan kesehatan yang sama yang berlaku di Thailand, di mana dana pemerintah betul-betul diprioritaskan untuk membiayai masyarakat kelompok tidak mampu. Sementara bagi keluarga mampu disarankan mendaftar asuransi kesehatan komersial.
Lain halnya di Indonesia, aturan perundang-undangan mengharuskan semua warga terdaftar dalam JKN menyebabkan manfaat BPJS dipergunakan oleh peserta yang relatif mampu dan berada di dekat kota-kota besar.
“Saya kira kebijakan kementerian keuangan sudah tepat menaikkan premi di semua segmen untuk menutup defisit ini,” katanya.
Selain mengusulkan revisi UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan UU BPJS, Laksono menegaskan diperlukan penyusunan kebijakan kompartemen untuk mencegah risiko kerugian kelompok peserta BPJS. Perlu membuat kantong pengelolaan dana amanat, melibatkan pemda dalam pembiayaan defisit, menetapkan kelas standar, menetapkan nilai maksimal klaim setiap peserta, dan menggandeng asuransi kesehatan untuk memberikan layanan lebih kepada peserta mampu.
Namun yang tidak kalah penting, kata Laksono, dana JKN untuk kelompok peserta PBI yang dibiayai APBN tidak digunakan lagi untuk membiayai kelompok peserta mandiri. Sebaliknya dana PBI akan fokus untuk masyarakat miskin dan tidak mampu di berbagai daerah. Sebab selama ini, dana untuk masyarakat miskin di BPJS terbukti juga digunakan untuk membiayai masyarakat mampu.