JAKARTA- Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Dalam Negeri (BPP Kemendagri), melalui Sub Bagian Perpustakaan, Informasi, dan Dokumentasi menggelar bedah buku terkait pemerintahan desa. Buku yang dibedah adalah karya dari guru besar Universitas Terbuka Hanif Nurcholis berjudul, “Pemerintah Desa, Nagari, Gampong, Marga, dan Sejenisnya: Pemerintahan Tidak Langsung Warisan Kolonial yang Inkonstitusional”. Kegiatan tersebut berlangsung di Aula BPP Kemendagri, Selasa (24/9).
Dalam bukunya, Hanif berusaha menghadirkan cara pandang lain ihwal pengelolaan desa dengan menggali persoalan desa dari hal mendasar, yakni tata kelola dalam konstitusi pemerintahan. Ia mencoba menyuguhkan fakta sejarah bagaimana proses dinamika terbentuknya desa—ada juga yang menyebut nagari, gampong, marga, dan sejenisnya—serta perannya dalam kehidupan negara baik saat masa penjajahan maupun era kemerdekaan.
Hanif hendak membuktikan bahwa desa saat ini bukanlah sebuah entitas yang dibentuk sesuai kehendak masyarakat. Tatanan pemerintahan desa saat ini merupakan warisan kolonial yang bentuknya kurang strategis dalam menghadirkan kesejahteraan bagi masyarakat.
Kepala BPP Kemendagri Dodi Riyadmadji dalam sambutannya menjelaskan, wacana tersebut perlu dikaji lebih dalam, salah satunya lewat gelaran bedah buku. Melalui kegiatan ini, dirinya berharap dapat memberikan khazanah keilmuan mengenai sejarah terbentuknya pemerintahan desa dan isu-isu strategis di dalamnya. Selain itu, kegiatan ini juga dapat menghasilkan rekomendasi kebijakan bagi pemerintah pusat, pemerintah daerah, serta stakeholder terkait sistem penyelenggaraan pemerintahan desa. “Menghasilkan masukan bagi Presiden terutama dalam memperbaiki tata kelola pemerintahan desa,” terang Dodi.
Hadir sebagai pembicara, Dirjen Bina Pemerintahan Desa Kemendagri, Nata Irawan, mengapresiasi hadirnya buku tersebut. Pemerintahan desa di Indonesia, kata Nata, merupakan urusan yang unik. Sebab, sejak zaman Belanda hingga Reformasi desa mengalami perubahan seiring dengan situasi politik. Sementara di banyak negara, desa justru tidak menjadi fokus perhatian, bahkan di dorong membentuk kota-kota kecil baru yang modern. Di samping itu, literatur yang membahas pemerintahan desa juga masih terbatas. “Ini menjadi menarik untuk didiskusikan,” tutur Nata.
Kendati demikian, Nata menilai judul buku yang digunakan Hanif yakni ‘Pemerintahan Tidak Langsung Warisan Kolonial yang Inskonstitusional’ berkesan provokatif. Dirinya juga mengkritisi berbagai argumen yang dihadirkan Hanif, dan menampiknya dengan berbagai capaian pemerintah pusat dalam memajukan pemerintahan desa.
Namun, dirinya membuka diri kepada penulis untuk melakukan diskusi mendalam bersama Ditjen Bina Pemerintahan Desa. Sebagai komponen yang berkaitan dengan desa, pengetahuan terkait pemerintahan desa tersebut menjadi hal penting untuk dipahami.
Selain Nata, hadir pula pembicara lainnya, seperti Akhmad Muqowam (Wakil Ketua DPD RI), Achmad Chojim (penulis buku Serat Centhini), Irfan Ridwan Maksum Pengamat Administrasi Negara Universitas Indonesia, Sofyan Sjaf (Peneliti Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan IPB), Harsanto Nursadi (pakar hukum administrasi negara), dan Hanif Nurcholis (penulis buku). Para narasumber tersebut memberikan tanggapannya terhadap karya yang disuguhkan Hanif, mulai dari memperkuat, menambahkan, bahkan mengkritisi. (MJA)