Dikutip dari tempo.co, bertambahnya jumlah perokok anak bukan pertanda baik. Ketua Junior Doctors Network of Indonesia (JDNI), Andi Khomeini Takdir Haruni, mengatakan para dokter dan tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit melihat sendiri dampak prevalensi perokok anak yang tinggi di Indonesia.
“Kami di rumah sakit yang merasakan. Semakin banyak anak yang terkena infeksi saluran pernapasan akut, asma, dan kanker,” kata Andi.
Karena itu, JDNI mendukung penuh langkah Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) terhadap Audisi Beasiswa Bulutangkis Djarum yang kemudian menjadi polemik. Menurutnya, meskipun tidak mengajarkan anak untuk merokok secara langsung, audisi tersebut membuat anak mencitrakan rokok sebagai produk yang normal dan baik sehingga merokok pun dianggap tidak masalah.
“Kejadian ini menjadi momentum masyarakat Indonesia untuk membicarakan lebih jauh dampak zat adiktif berupa rokok. Mari kita diskusikan soal ini dengan benar,” tuturnya.
Andi mengatakan masyarakat kesehatan di Indonesia sudah lama khawatir dengan pertambahan perokok anak. Pemerintah, melalui Kementerian Kesehatan memiliki sasaran menurunkan prevalensi perokok anak.
“Namun, prevalensi perokok anak ternyata malah bertambah. Menurut Riset Kesehatan Dasar 2018, prevalensi perokok anak meningkat dari 7,2 persen menjadi 9,1 persen,” katanya.
Andi yakin angka tersebut hanya fenomena gunung es yang hanya terlihat puncaknya saja, tetapi yang lebih besar tidak terlihat.