Dikutip dari cnnindonesia.com, rencana pemindahan ibu kota ke Kalimantan Timur diprediksi menyumbang kenaikan inflasi, baik di skala provinsi maupun secara nasional. Pasalnya, program itu berpotensi mengerek harga barang di wilayah tersebut, baik sandang, pangan, maupun papan.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rizal Taufikurahman mengatakan dampak pemindahan ibu kota terhadap kenaikan harga barang di Kalimantan Timur bisa mencapai 0,08 persen, atau lebih besar ketimbang dampak inflasi secara nasional yang sebesar 0,001 persen.
Hal tersebut mengacu kepada studi yang dilakukan oleh Indef Agustus 2019 lalu. Studi menggunakan sumber data Badan Pusat Statistik (BPS), tabel sistem Neraca Sosial Ekonomi 2008 yang diperbaharui, tabel input output inter-regional terbaru, Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) terbaru, Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) terbaru, dan beberapa data pendukung lain.
“Hal ini menunjukkan pemindahan ibu kota akan mendorong inflasi harga komoditas di daerah terutama di Kalimantan Timur sendiri,” katanya.
Ia menjelaskan kenaikan harga dipicu oleh perpindahan penduduk, namun tidak disertai tambahan produksi barang yang dibutuhkan masyarakat.
Dari studi Indef, pemindahan ibu kota justru menekan output (produksi) sektor atau industri yang berbasis sumber daya alam, misalnya pertanian, perhutanan, dan perikanan. Disebutkan, produksi padi dan beras berpotensi turun 0,04 persen sehingga menyebabkan kenaikan harga 0,02 persen, produksi daging turun 0,1 persen sehingga harga naik 0,04 persen, gula turun 0,01 persen sehingga harga naik 0,04 persen, tekstil turun 0,15 persen sehingga harga naik 0,05 persen, dan sebagainya.
Padahal, barang-barang tersebut merupakan kebutuhan dasar masyarakat. Menurut dia, salah satu faktor penyebab penurunan produksi ialah belum tersedia infrastruktur yang mendukung industrialisasi atas barang-barang perdagangan (tradable goods) di Kalimantan Timur.
“Ini adalah tantangan terbesar pengolahan SDA di sana dari perikanan, perhutanan, dan peternakan. Meskipun sudah ada industri perkebunan tapi hanya menghasilkan CPO (minyak sawit) yang kemudian dieskpor, bukannya diolah menjadi turunan CPO untuk kebutuhan konsumsi,” katanya.
Sebaliknya, pemindahan ibu kota mendukung pertumbuhan sektor administrasi, pertahanan, pendidikan, dan kesehatan sebesar 7,42 persen. Disusul sektor tempat tinggal sebesar 0,76 persen, serta sektor rekreasi dan jasa pelayanan sebesar 0,16 persen. Angka-angka tersebut menujukkan potensi penurunan produktivitas pada sektor-sektor produktif yang memiliki efek ganda (multiplier effect) kepada perekonomian.
“Artinya akan sangat rentang dengan inflasi akibat produksi industri yang dibutuhkan masyarakat kian menurun,” imbuhnya.
Oleh sebab itu, ia menyarankan pemerintah untuk mempertimbangkan kesiapan pembangunan ibu kota baru, tak hanya aspek tata kota, tetapi juga dari sisi tata ekonomi.
Pemerintah berencana membangun infrastruktur pelayanan dasar pada tahap awal pembangunan ibu kota baru. Fasilitas tersebut meliputi istana kepresidenan, bangunan strategis TNI dan Polri, perumahan dinas bagi Aparatur Sipil Negara (ASN), TNI dan Polri, pengadaan lahan, dan ruang terbuka hijau.
“Kalau pun tetap mau dibangun yang harus dilakukan adalah perbaikan pusat-pusat ekonomi di sana dengan memperkuat keterkaitan komoditas di Kalimantan Timur dengan provinsi di sekitarnya dan antar pulau,” ujarnya.
Sekadar informasi, Presiden Joko Widodo mengumumkan lokasi ibu kota baru terletak di Kalimantan Timur, tepatnya di dua kabupaten yakni Kutai Kertanegara dan Penajam Paser Utara. Jokowi beralasan Kalimantan Timur dipilih karena pertimbangan strategis dan kebencanaan. Kepala negara menyebut risiko bencana di Kalimantan Timur kecil. Selain itu, Kalimantan Timur secara geografis berada di tengah kepulauan Indonesia.