Dikutip dari elshinta.com – Setelah disusun sejak 2014, Indonesia kini memiliki Undang-Undang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, dengan harapan bisa meningkatkan kontribusi sains dan teknologi pada pembangunan.
DPR RI mengesahkan UU tersebut, hari Selasa (16/07/2019), yang juga akan menjadi dasar sebuah pembentukan lembaga riset yang menggabungkan lembaga-lembaga riset yang sudah ada sekarang ini.
Undang-undang ini juga meningkatkan usia pensiun peneliti menjadi 65 tahun untuk peneliti madya dan 70 tahun untuk peneliti utama.
Sayangnya sejumlah pihak menyesalkan beberapa pasal yang mengatur kerja sama penelitian dengan pihak asing.
Ancaman denda senilai Rp 4 miliar serta larangan untuk mengajukan izin penelitian selama lima tahun akan dijatuhkan bagi peneliti asing yang tidak memiliki izin resmi, seperti yang tertulis dalam dokumen yang didapatkan oleh harian The Jakarta Post.
Ada pula pasal yang memberikan sanksi pidana bagi peneliti asing yang mencuri sampel keberagaman hayati, dengan ancaman satu tahun penjara dan denda mencapai Rp 2 miliar.
Sanksi pidana untuk para peneliti asing ini pernah mendapatkan sorotan dari para peneliti dalam negeri sejak undang-undang masih dalam bentuk rancangan.
Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), Profesor Satryo Soemantri Brodjonegoro, pernah mengatakan jika penelitian Indonesia ingin maju maka harus dilakukan secara berkolaborasi dengan peneliti asing.
Ia juga mengatakan pasal-pasal yang terkait sanksi seharusnya dihapuskan, karena “tidak bisa sanksi pidana untuk peneliti, penelitian bukan kriminal,” ujarnya kepada media di Indonesia bulan Maret lalu.
Meski memahami tujuan adanya undang-undang ini untuk melindungi kekayaan keberanekaragaman hayati di Indonesia, sejumlah pihak mengatakan adanya sanksi pidana malah akan memberikan kesan Indonesia menutup diri
Sementara negara-negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura membuka diri dengan keberadaan peneliti asing dan bisa berkontribusi bagi pembangunan dan alam mereka.
Henri Subagio, Direktur Eksekutif dari Indonesia Center for Enviromental Law (ICEL), sebuah lembaga riset dan advokasi tata kelola lingkungan, mengatakan kepada ABC Indonesia jika pasal-pasal sanksi ini sebenarnya tidak akan menyelesaikan masalah.
Menurutnya, permasalahan sebenarnya bukan soal izin bagi peneliti asing untuk melakukan penelitian, tetapi seperti apa aturan kolaborasi antara peneliti Indonesia dan Australia.
“Kita membutuhkan mekanisme yang komprehensif sebenarnya, seperti apa manfaatnya bisa dirasakan juga dengan pemerintah atau masyarakat setempat,” ujarnya kepada Erwin Renaldi dari ABC Indonesia hari Rabu (17/07/2019).
“Jadi tidak hanya sekedar izin, karena setelah keluar izin, lantas seperti apa benefit sharing-nya?”
Menurutnya sektor penelitian iptek di Indonesia belum bisa terlalu berkembang karena adanya sejumlah keterbatasan, sehingga Indonesia masih mengandalkan lembaga-lembaga penelitian luar negeri.
Sejumlah lembaga penelitian di Australia telah banyak berkolaborasi dengan Indonesia di bidang IPTEK dan lingkungan dengan jumlah dana penelitian di tahun lalu mencapai lebih dari Rp 96 miliar.
Negara Amerika Serikat dan Jepang, masing-masing menjadi negara pertama dan kedua, yang membawa paling banyak dana, dengan total mencapai Rp 623 miliar untuk 521 penelitian di tahun 2018, menurut Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi.
Kementerian tersebut juga pernah mengakui jika Indonesia memerlukan banyak kerjasama dengan penelitii asing agar meningkatkan daya saing IPTEK Indonesia.
Bulan lalu sejumlah peneliti asal Australia, termasuk Dr Ross Tapsell dan Dr David McRae, telah ditolak masuk ke Indonesia karena diduga menggunakan visa turis untuk kegiatan terkait penelitian.