Dikutip dari tempo.co, Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Mataram Agus Riyanto mengatakan dari hasil simulasi dan pemodelan tsunami (Tsunami Modeling), wilayah Lombok Selatan menyimpan potensi gempa megathrust berkekuatan magnitudo 8,5 dan gelombang tsunami dengan ketinggian mencapai 20 meter sejauh hingga lima kilometer.
Baca juga: Gempa Lombok Agustus 2018 Sebabkan 564 Orang Meninggal
“Kapan waktunya tidak ada yang tahu bahkan teknologi secanggih apapun tidak bisa memprediksi dan mengetahui kapan akan terjadi gempa itu,” ujarnya di sela-sela seminar manajemen kebencanaan yang dilaksanakan di Universitas Nahdatul Ulama NTB di Mataram, Kamis, 4 Juli 2019.
Ia menjelaskan, jika terjadi gempa seperti itu berdasarkan hasil simulasi pemodelan tsunami, wilayah yang terkena imbas berada di sekitar Kuta, Awang, Selong Blanak, Lombok Barat dan Mataram. Namun, untuk wilayah Kota Mataram imbasnya hanya mencapai 2 kilometer dari pantai.
“Kalau selatan kurang lebih 3-5 kilometer rendaman tsunaminya, termasuk rendamannya mengenai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika,” ujarnya.
Menurut Agus, jika merujuk pada sejarah dan hasil penelitian, gempa besar pernah terjadi di perairan selatan, khususnya Lombok pada 500-1000 tahun yang lalu. Hal ini dibuktikan dari jejak pasir sisa tsunami yang tertinggal. Sedangkan, gempa terakhir yang besar terjadi pada tahun 1977 di wilayah Sumba Kabupaten Nusa Tenggara Timur (NTT) hingga berimbas pada wilayah selatan NTB dan hingga sekarang tidak pernah terjadi lagi, namun tetap saja hal tersebut menurutnya harus tetap diwaspadai.
“Sekarang belum ada aktivitas lagi, kalaupun ada kita harap gempanya kecil-kecil dan intensitasnya banyak, sehingga terlepas. Tapi kalau diam terlalu lama itu artinya sedang mengumpulkan energi dan ini yang tidak kita harapkan. Karena sifatnya di selatan seperti itu, hampir sama dengan selatan Bali, Jawa hingga Sumatra bisa ratusan tahun seperti yang terjadi di Aceh itu ratusan tahun terulang kembali pada tahun 2004 gempa besar dan tsunami,” kata Agus Riyanto.
Karena itu, simulasi dan pemodelan tsunami (Tsunami Modeling) ini penting untuk diketahui, sehingga pemerintah dan semua pihak bisa melakukan antipasi dan edukasi tentang mitigasi bencana secara menyeluruh ke masyarakat, termasuk mengimbau masyarakat untuk membangun rumah yang tahan gempa.
Pakar Geologi dan Kegempaan dari Universitas Brigham Young Univesity, Utah, Amerika Serikat, Prof Ron Harris mengamini data BMKG tersebut, sebab berdasarkan hasil riset yang dilakukannya bersama 11 anggota timnya dari berbagai universitas di Amerika, menunjukkan pergerakan zona subduksi di wilayah perairan Lombok Selatan.
“Gempa dengan kekuatan 9 magnitudo itu sangat tinggi, karena posisinya berada di Palung Jawa tapi lokasinya kita tidak tahu apakah terjadi di Lombok, Bali atau Jawa. Tapi kalau itu terjadi dampaknya pasti ada kalau itu terjadi stunami,” ucapnya.
Ia menjelaskan, setiap tahun lempeng Lombok khususnya di wilayah Lombok Selatan tertekan dan bergeser oleh lempeng Indo-Australia sepanjang 35 meter. Bahkan, bila lempeng Lombok ini tidak bisa menahan tekanan akan menyebabkan gempa megathrust dengan kekuatan minimal 9 magnitudo dan maksimal 9,5 magnitudo.
“Gempa yang dihasilkan dari patahan di wilayah Lombok Selatan mencapai 9,5 Magnitudo dan menyebabkan tsunami setinggi 20 meter,” katanya.
Ron Harris mengingatkan zona subduksi di wilayah Lombok Selatan yang memanjang hingga pulau Sumatera tersebut menunjukkan meningkatnya aktivitas seismik. Hal ini, kata dia, didasari hasil penelitian dan riset serta sejarah pernah terjadi gempa besar di Lombok Selatan.
Meski menyimpan potensi gempa megathrust, Ron Harris menegaskan, tanah bergerak (likuefaksi) seperti yang terjadi pada gempa Palu, Sulawesi Tengah, kemungkinan kecil akan terjadi di Lombok. “Untuk likuefaksi belum sampai sejauh itu,” katanya.