Dikutip dari medcom.id, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebut terdapat perbedaan karakteristik antara Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dengan bank umum. Meski berada di bawah naungan Undang-Undang (UU) yang sama yakni UU Perbankan, namun dalam konteks ini BPR memiliki keterbatasan operasional dibandingkan dengan bank umum.
Direktur Penelitian dan Pengaturan BPR Ayahandayani mengatakan salah satu perbedaan antara bank umum dengan BPR adalah BPR tidak bisa ikut serta dalam sistem pembayaran. Sedangkan bank umum diperbolehkan ikut dalam sistem pembayaran di Indonesia. Hal ini sejalan dengan pembagian operasional.
“Beda bank umum secara operasional dengan BPR perbedaan utamanya adalah keikutsertaan dalam sistem pembayaran. Kalau bank umum bisa ikut, kalau BPR tidak bisa ikut. Jadi pelaksanaanya melalui bank umum (untuk BPR ikut sistem pembyaran),” katanya, dalam pelatihan dan gathering OJK, di Bandung, Jawa Barat, Jumat, 3 Mei 2019.
Dalam sesi pelatihan bertajuk “Perkembangan BPR” itu, ia menambahkan, perbedaan lainnya adalah kegiatan usaha BPR terbatas dalam hal penghimpunan dana karena hanya boleh menghimpun dana dalam bentuk simpanan tapi tidak dalam bentuk giro. Selain itu, BPR diperbolehkan menyalurkan kredit kepada masyarakat.
“Kemudian, BPR tidak dapat memberikan kegiatan atau memiliki kantor cabang yang berbentuk syariah. Jadi kalau konvensional ya konvensional, dan kalau syariah ya syariah. Sedangkan terkait tingkat kesehatan BPR itu berdasarkan surat keputusan direksi BI. Kalau bank umum menggunakan risk bank rating,” ucapnya.
Lebih lanjut, ia mengungkapkan, jumlah BPR hingga posisi Januari 2019 tercatat sebanyak 1.597 yang tersebar di seluruh Indonesia. Dari jumlah tersebut, sebanyak 69 persen BPR berlokasi di Jawa dan Bali. Kemudian sebanyak 31 persen berada di luar Jawa dan Bali.
“Kondisi sekarang sudah lebih baik dibandingkan dulu. Karena dulu (persebaran BPR) di atas 80 persen itu berada di Jawa dan Bali. Tapi dengan kebijakan otoritas terkait BPR maka bisa ditekan,” tuturnya.
Di sisi lain, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mendukung upaya Otoritas Jasa Keuangan yang meminta Bank Perkreditan Rakyat segera melakukan aksi merger. Langkah itu bertujuan untuk memperbesar kapasitas permodalan BPR di suatu daerah.
Direktur Eksekutif Riset, Surveilans, dan Pemeriksaan LPS Didik Madiyono menyebutkan saat ini jumlah BPR hanya menumpuk di Pulau Jawa. Padahal, menumpuknya jumlah BPR di satu daerah membuat kinerjanya tak efisien.
“(Saat ini jumlah BPR di Indonesia) terlalu besar, tapi sebarannya juga enggak merata. Sebanyak 61 persen (jumlah BPR) terpusat di Jawa, sementara sekitar 37-39 persennya itu di luar Jawa dengan cakupan wilayah yang lebih luas,” ujar Didik.
Selain meningkatkan kapasitas permodalan, tambahnya, merger diyakini membuat operasional BPR menjadi lebih efisien. Dari sisi kelembagaan juga akan lebih kuat. Sedangkan dari sisi pengawasan akan memudahkan OJK.
“Kalau bisa menjangkau nasabah banyak kan lebih bagus. Dari sisi operasionalya akan lebih murah, fixed cost (biaya tetap) dan overhead cost-nya juga akan lebih murah dibandingkan kalau sendiri-sendiri,” pungkasnya.