News

Ketika Usaha Rintisan Bioteknologi Hasilkan Kulit dari Jamur

Dikutip dari beritagar.id – Dunia dipenuhi oleh perusahaan rintisan (startup). Namun tak lazim usaha rintisan itu bergerak di bidang bioteknologi seperti Mycotech di Bandung yang berhasil memproduksi bahan kulit dari olahan jamur.

Bahkan bahan kulit berpanel komposit itu kini menjadi alternatif saingan dengan kulit hewan. Kelebihan jamur, konsepnya menjadi ramah lingkungan.

“Kami startup yang jarang, berbasis riset bioteknologi,” kata Arekha Bentang, lulusan Bioteknologi Intitut Teknologi Bandung (ITB), Jawa Barat, kepada Beritagar.id, Selasa (9/4/2019).

Startup bioteknologi memang tak lazim. Tidak sebanyak usaha rintisan dagang, misalnya, yang mendominasi pada kurun 2012-2017.

Arekha bersama empat orang temannya yang juga alumni ITB serta Universitas Padjadjaran Bandung (Adi Reza Nugroho, Ronaldiaz Hartantyo, Robbi Zidna Ilman, dan Annisa Wibi Ismarlanti) mendirikan usaha jamur ini pada 2012.

Lokasi kantor di sebuah lokasi working space di Jalan Dago, Bandung. Sedangkan tempat riset dan produksi di daerah Cisarua, Bandung Barat.

Rintisannya adalh berupa Growbox yang mengajak orang menanam jamur tiram mandiri di dalam kamar atau rumah sebagai bahan pangan. Media tanam jamur (baglog) mereka kemas dengan kotak kardus lalu dari sisi yang bolong keluar jamur-jamur tiram.

Dari penyisihan keuntungannya, kata Adi, mereka mengembangkan papan komposit. Metodenya terinspirasi pembuatan tempe. Setiap bulir kedelai bisa merekat hingga padat oleh jamur Rhizopus oryzae.

Papan kompositnya berbahan utama limbah pertanian. Beberapa misalnya ampas tebu, kelapa, kelapa sawit, jerami, dan kayu serbuk gergaji. Limbah dalam wadah sekaligus cetakan itu yang akan diolah jamur.

“Secara teori semua jenis limbah pertanian di Indonesia bisa dipakai selama mengandung selulosa sebab itu adalah makanan jamur,” kata Adi.

Jamur yang dipakai untuk merekatkan limbah tanaman itu berjenis Basidiomycota. Bagian seperti akar jamur yang disebut mycellium akan memadatkan limbah dalam waktu 5-7 hari.

“Jamur ini pengganti lem dan resin yang mengandung racun dalam pembuatan komposit,” ujar Adi.

Purwarupa jadi pada 2015

Papan komposit yang mereka buat umumnya berbentuk panel beragam ukuran. Cara ini lebih praktis untuk dikirim daripada berupa lembaran besar.

Konsumennya dari Bali, Eropa, dan Amerika Serikat menggunakannya sebagai hiasan interior dan eksterior. “Ada motif abstrak seperti marmer hasil jamur,” kata Arekha.

Dari pembuatan itu muncul ide baru. Pada bagian atas komposit sebelum dipanen, ternyata ada lapisan mycellium yang bisa diambil. Lapisan itu setelah dibersihkan dan dikeringkan menjadi seperti kulit.

“Ketebalannya masih bervariasi antara 0,5 – 1,5 milimeter,” ujarnya.

Dari kulit yang sudah diproses, mereka menjadikannya sebagai contoh tali jam tangan, sampul buku, dan dompet. Warnanya sementara ini masih cokelat tua atau agak muda.

“Kami membuat kulit dari jamur ini sebagai bahan dasar saja, olahan produksinya bisa oleh siapa pun,” kata Adi.

Selama ini mereka bekerjasama dengan berbagai pihak untuk riset. Misalnya Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Future Cities Laboratory, dan ETH Zurich. Belakangan mereka mengerjakan riset kulit dari jamur dengan ITB, National University of Singapore, dan Queensland University Australia.

Tantangannya adalah mencari jamur yang sekiranya cocok, selain mencari investor. Bermodalkan literatur, mereka harus menjajal dari awal belasan jenis jamur yang dikumpulkan. Pengembangan risetnya mendapatkan jamur yang lebih baik untuk papan komposit dan kulit.

Meskipun begitu, kata Adi, terutama pasar luar negeri pada masa depan terbuka luas. Indikasinya sudah terlihat dari penjualan papan komposit.

Pada 2017, mereka menghasilkan $80 ribu AS. Padahal selama periode 2015-2017 mereka sebenarnya tidak siap jual.

“Beberapa klien memaksa untuk kolaborasi, dibeli produknya, blok dan papan,” kata Adi.

Klien terbanyak mencapai 90 persen dari Amerika Serikat dan Eropa. Ada kebutuhan di sana untuk papan komposit yang tanpa racun dari lem dan resin sebagai perekat.

Sementara di Indonesia, lanjut Adi, kebijakannya belum seketat di mancanegara. “Harganya juga susah bersaing walau secara teknologi dan prinsip pembuatannya mudah,” ujar Adi.

Prospek kulit dari jamur yang mereka sebut kulit mycelium atau mylea sebagai singkatan pun sama. Hasil pengujian di laboratorium univeritas Queensland di Australia menyatakan mylea bisa tahan api hingga 600 derajat Celcius.

“Kultnya elastis, ketika dites range-nya antara 20-30 persen. Lebih dari itu sobek juga,” ujar Arekha.

Tes lain seperti kelunturan warna akibat sinar ultraviolet, dibasahi cairan, juga abrasif kulit terhitung menjanjikan. Tapi mereka belum puas untuk menjadi alternatif kulit hewan sehingga masih terus riset.

“Jenama mewah fashion spending jutaan dolar untuk bahan yang ramah lingkungan,” kata Adi.

Adi dan kawan-kawan pun ingin kulit produksi mereka dipakai Indonesia lebih dulu, walau potensi besar menunggu di luar sana.

Join The Discussion