Dikutip dari harianjogja.com, penelitian dua anak muda Tanah Air, Intan Utami dan Shofi Nuha, berhasil ditayangkan dalam sebuah karya film dokumenter garapan sutradara dan produser film asal Amerika Serikat, Laura Nix. Penelitian yang diangkat adalah tentang dampak pertambangan timah bagi lingkungan di Bangka-Belitung, tempat tinggal mereka.
Film berjudul Inventing Tommorow tersebut tidak hanya menceritakan kisah anak muda inspiratif dari Indonesia, tetapi juga dari Hawaii, India, dan Mexico. Film tersebut berhasil terpilih menjadi salah satu film utama untuk kategori film dokumenter di Sundance Film Festival.
Laura Nix yang berkesempatan mengunjungi Kantor Harian Jogja, Jumat (29/3/2019) menceritakan bahwa Nuha dan Intan yang saat ini sedang mengenyam pendidikan di Universitas Islam Indonesia (UII) Jogja tersebut memiliki pemikiran yang luar biasa untuk lingkungan tempat tinggalnya. Mereka mencoba membuat alat untuk mengurangi dampak kerusakan lingkungan akibat pertambangan timah.
“Perekonomian di Bangka Belitung memang tergantung timah tapi penambangan timah sangat mengancam wilayah itu. Maka mereka [Nuha dan Intan] tidak tidak ingin menyetop kegiatan pertambangan tetapi mengurangi dampak lingkungannya,” kata Naura, Jumat.
Indonesia sendiri dipilih karena memiliki banyak anak muda yang melakukan penelitian tentang lingkungan. Penelitian yang dilakukan tidak hanya sebatas pemenuhan tugas tetapi memang memberikan dampak yang dapat dirasakan masyarakat.
Untuk proyek film di Indonesia, Laura melakukan syuting di tiga lokasi yakni di Bangka-Belitung, Jogja, dan Jakarta. Bangka-Belitung merekam kegiatan pertambangannya, di Jogja adalah di indekos profesor yang membantu Nuha dan Intan membuat alat, serta di Jakarta adalah di LIPI.
Laura mengakui, untuk proyek film dokumenter ini memang menelan biaya yang cukup besar. Jika biasanya ia cukup dengan 75.000 USD, kali ini ia harus mengeluarkan dana sampai 1,5 juta USD. “Kalau dalam film dokumenter dikenal segitiga cepat, murah, dan bagus, khusus untuk film ini tiga hal itu tidak mungkin bisa dicapai semuanya. Paling hanya dua,” tuturnya.
Besarnya biaya dikarenakan lokasi syuting harus berpindah-pindah dari satu negara ke negara lain. Untuk proses pembuatannya sendiri, film berdurasi 87 menit di layar lebar dan 82 menit di layar kaca ini bisa diselesaikan dalam waktu 1,5 tahun.
Laura mengatakan, dengan adanya kisah penelitian anak Indonesia ini membuat negara yang terdiri dari banyak kepulauan ini semakin dikenal di mata dunia. Menurutnya, film ini juga telah mendapatkan kesan yang baik dari para penontonnya. “Kami berusaha membuat film menggunakan emosional. Yang kami titik beratkan bukan kompetisi penelitiannya, tetapi ada sesuatu di balik itu,” katanya.
Sejauh ini, Laura Nix telah memproduksi 100 film pendek dan empat film panjang dokumenter. Dalam waktu dekat, ia akan meluncurkan sebuah film yang mengangkat isu keimigrasian. Film itu berkisah sepasang suami istri berusia 60 tahun dari China yang sudah menetap di Vietnam. Mereka melakukan migrasi ke Amerika Serikat dan ingin menjadi penari.
“Film itu, selain mengangkat isu imigrasi juga ingin menyampaikan pesan bahwa berapapun usianya masih bisa melakukan kegiatan seni,” katanya.