Dikutip dari kompas.id, isu memperkuat lembaga penelitian dan pengembangan dengan industri selalu muncul dalam debat calon presiden-wakil presiden selama beberapa pemilu terakhir. Pengulangan itu menunjukkan, persoalan ini tidak pernah tuntas meski presiden-wakil presiden silih berganti.
Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia Satryo Soemantri Brodjonegoro di Jakarta, Senin (18/3/2019), mengatakan, upaya memperkuat lembaga litbang dan industri sulit berjalan karena belum ada industri di Indonesia yang membutuhkan riset, apalagi inovasi, untuk menjaga keberlanjutan usahanya.
Isu penguatan hubungan lembaga litbang itu mengemuka kembali dalam debat cawapres, Minggu (17/3/2019) malam. Pada debat capres-cawapres pemilu sebelumnya, isu itu muncul dalam konsep triple helix atau ABG (academic, business, government). Meski namanya berbeda, konsep itu sama-sama ingin menghubungkan akademisi, industri, dan pemerintah.
Litbang belum jadi kebutuhan industri Indonesia karena mereka masih berkutat pada perakitan atau impor produk jadi. Situasi itu terlihat dari anggaran riset yang disumbang industri manufaktur dan lembaga litbang swasta hanya 13,5 persen dari total anggaran riset 2016. Kondisi itu juga memicu defisit transaksi berjalan yang kian mengkhawatirkan.
Kondisi itu berkebalikan dengan negara-negara maju. Anggaran riset terbesar mereka justru ditopang industri, bukan pemerintah seperti di Indonesia. Karena itu, jika ingin riset dan inovasi yang dihasilkan peneliti dan perekayasa Indonesia berguna, industrinya harus dibangun dulu.
”Jika industri tidak dibenahi dulu, untuk siapa riset dan inovasi dilakukan?” kata Satryo.
Ketua Dewan Riset Nasional (DRN) Bambang Setiadi mengatakan, perdebatan yang muncul selama ini, bukan hanya di debat capres-cawapres, masih berkutat pada riset. Padahal, persoalan Indonesia bukanlah riset, melainkan inovasi. ”Inovasi sama dengan riset yang dikalikan dengan komersialisasi,” katanya.
Dalam Rancangan Undang-Undang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sisnas Iptek) yang sedang dibahas DPR, Bambang menilai, inovasi belum jadi bagian penting, hanya jadi salah satu pasal. Karena itu, DRN usul agar RUU Sisnas Iptek dinamai RUU Sisnas Iptek dan Inovasi, sementara DRN jadi Dewan Riset dan Inovasi Nasional.
Di negara maju, pimpinan pemerintahan memandu langsung lembaga inovasi nasional. Mereka menuntut inovasi dari setiap kementerian terkait dan menetapkan sejumlah inovasi unggulan untuk dibiayai negara. Namun, produk inovasi yang dihasilkan harus benar-benar bisa dipasarkan.
Baik Satryo maupun Bambang setuju, riset dan inovasi adalah upaya menjaga martabat dan ketahanan bangsa. Pertarungan politik global ada di dalamnya untuk menjaga eksistensi dan keberlanjutan setiap bangsa. Namun, belum semua pemangku kebijakan dan politisi Indonesia menyadari pentingnya mewujudkan riset dan inovasi.
Meski kaya akan sumber daya alam dan keanekaragaman hayati, Indonesia belum bisa memanfaatkan kekayaannya secara optimal. Modal berharga itu justru diekspor dalam bentuk barang mentah, diriset dan diolah di negara maju, dan diekspor kembali produk jadinya ke Indonesia.
”Bangsa lain tidak takut berapa banyak riset, paten, profesor, atau doktor yang dimiliki Indonesia. Mereka akan takut jika Indonesia memproduksi dan menggunakan inovasinya sendiri,” kata Bambang.
Lembaga riset
Terkait badan riset, dalam debat cawapres, Minggu malam, juga mencuat isu Badan Riset Nasional (BRN). Isu ini sudah muncul beberapa tahun lalu dan menimbulkan keresahan di kalangan peneliti, perekayasa, dan lembaga litbang yang ada karena BRN diwacanakan akan menggabungkan semua lembaga litbang walau karakternya berbeda-beda.
Menurut Satryo, meski sama-sama menggunakan nama litbang, badan litbang di sejumlah kementerian memiliki karakter berbeda dengan lembaga penelitian non-kementerian (LPNK), seperti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia atau Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi.
Sebagian besar badan litbang kementerian melakukan riset kebijakan untuk kementeriannya dan menggunakan 80 persen dari anggaran riset nasional. Itu berarti, lembaga litbang kementerian tidak bisa diberikan tanggung jawab untuk penguasaan, pengembangan, dan penerapan iptek seperti yang dilakukan LPNK.
Repotnya, enam LPNK di bawah Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi hanya menggunakan 16 persen dari total anggaran riset nasional.
”BRN seharusnya difungsikan sebagai lembaga pendanaan riset, sedangkan risetnya tetap dilakukan lembaga yang ada saat ini,” katanya. BRN yang akan menyeleksi dan menilai setiap proposal riset yang bisa didanai negara sehingga anggaran riset akan terarah dan optimal. Selain itu, prinsip pengawasan dan keseimbangan akan berjalan karena lembaga yang mendanai dan melakukan riset berbeda.