Jakarta, dikutip dari Gatra.com – Dampak positif kehadiran bisnis transportasi online (ride-hailing) diperkuat beberapa hasil riset (study) oleh lembaga berkredibilitas. Baru-baru ini, kewaspadaan mengemuka karena mulai muncul penelitian “pesanan” dengan metodologi penelitian yang tak sesuai kaidah sehingga bisa merusak industri baru di Indonesia itu.
Peneliti Senior Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) Universitas Gadjah Mada (UGM) Sukamdi mengkritisi klaim sebuah lembaga riset dan konsultan bisnis yang mengumumkan telah melakukan ‘survei kualitatif’.
“Kalau menyebut survei, pasti rujukannya pada penelitian kuantitatif. Tidak ada survei kualitatif,” katanya, dalam keterangan yang diterima Gatra.com, Kamis (31/1).
Hasil riset dimaksud adalah produk lembaga survei Spire Research and Consulting yang melakukan survei kepada 40 responden dari empat kota besar di Indonesia. Para responden adalah mitra pengemudi GRAB dan GOJEK.
Seperti diketahui, populasi mitra kedua aplikator itu saat ini sudah mencapai sekitar 2 juta orang. Saat menggelar press conference di Jakarta pada 30 Januari 2019, lembaga tersebut menyebutkan menggunakan ‘survei kualitatif’ tapi kesimpulannya dalam bentuk persentase.
Padahal, Sukamdi menekankan, metodologi penelitian kualitatif tidak bisa menyimpulkan sesuatu yang bersifat generalisir. Bahkan juga tidak bisa menghasilkan kesimpulan dalam bentuk presentase yang mewakili sebuah populasi.
”Kalau penelitian kualitatif itu spesifik, fokus, mendalam, dan detail. Jadi salah kaprah kalau ada pihak menyebut penelitian pakai survey kualitatif karena penelitian kuantitatif itu rujukannya survei,” terangnya.
Dalam penelitian kuantitatif, Sukamdi menggambarkan seperti melihat sebuah bidang yang luas di permukaan atau horisontal. Lain halnya penelitian kualitatif yang sifatnya vertikal dan mendalam.
”Penelitian kuantitatif itu bisa diibaratkan memfoto permukaan bumi dari udara. Di situ yang terlihat hanya permukaan saja. Berbeda dengan kualitatif,” ujarnya.
Maka itu, Sukamdi mengkhawatirkan hasil penelitian yang mengabaikan metodologi. Sebab sangat rawan disalahgunakan.
”Ada moral hazard (risiko moral) di situ. Ada banyak riset yang pesanan di mana sebelum riset sudah ada hasilnya. Sahih atau tidaknya riset itu ada pada metodologinya. Ada cara ukur dan ambil sampel yang layak,” tegasnya.
Atas dasar itu, Sukamdi menilai perlunya transparansi metodologi penelitian ketika lembaga riset mempublikasikan hasil studi.
”Kalau lembaga riset abal-abal pasti untuk melayani pihak tertentu. Hasil riset itu untuk justifikasi saja,” katanya.
Sukamdi mengakui keberadaan lembaga riset abal-abal bisa berdampak buruk. Para pihak terdampak secara luas adalah masyarakat dan tidak terkecuali lembaga riset yang selama ini mempertahankan integritasnya.
”Kalau mau ukur integritasnya, lihat saja siapa orang-orang di lembaga riset tersebut. Dari situ bisa kelihatan,” pungkasnya. (gatra)