Pada 2017 Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Ristekdikti) Mohamad Nasir menerbitkan peraturan yang mengharuskan adanya tulisan ilmiah dari setiap dosen untuk mendapatkan tunjangan profesi dosen dan tunjangan kehormatan guru besar. Peraturan ini membuat banyak dosen yang belum terbiasa menulis di jurnal ilmiah internasional dengan reputasi tinggi gugup.
Mengapa menulis di jurnal internasional membuat banyak dosen gamang? Dan apakah publikasi merupakan ukuran yang baik untuk mengukur kinerja peneliti?
Tulisan ini menceritakan kendala-kendala yang dihadapi peneliti Indonesia untuk menerbitkan karya ilmiah di jurnal internasional. Tulisan ini juga membahas masalah yang ada pada sistem pengukuran dampak riset yang didasarkan pada sitiran artikel ilmiah.
Proposal, penelitian, lalu publikasi
Salah satu dari kami (Dian Fiantis) merupakan salah satu penelaah sejawat untuk menilai kelayakan proposal penelitian untuk mendapatkan pendanaan atau tidak dari Kementerian Ristekdikti. Dian sudah menjadi penelaah sejawat proposal sejak 2013 dan rata-rata setiap tahun menelaah 15 proposal kecuali pada 2018 karena kesibukan.
Proposal penelitian adalah tahap awal dari proses riset, yang berakhir dengan diseminasi temuan riset dalam bentuk artikel ilmiah.
Banyak kelemahan yang ditemukan Dian ketika menelaah proposal penelitian yang masuk. Ide yang ditawarkan banyak yang kurang kreatif dan aktual. Ada juga yang hanya merupakan duplikasi atau daur ulang dari penelitian sebelumnya.
Para dosen kerap mengatakan bahwa terbatasnya akses terhadap publikasi yang sudah terbit merupakan salah satu faktor penyebab dari ketiadaan ide baru. Kementerian Ristekdikti telah mencoba mengatasi masalah ini sejak 2015 dengan berlangganan jurnal-jurnal ilmiah internasional.
Kementerian juga tiap tahun menyelenggarakan klinik penulisan artikel ilmiah untuk dipublikasikan di jurnal nasional dan internasional bereputasi. Dosen dipersilakan untuk mengirimkan naskah yang sudah dibuat dan seleksi diadakan berdasarkan naskah yang masuk. Penyelenggaraannya di berbagai kota di Indonesia dan setiap kegiatan diikuti 50 orang peserta. Pada 2018 Kementerian mengadakan kegiatan 10 klinik penulisan artikel, antara lain di Bogor, Bandung, Padang, Yogyakarta, Solo, Semarang, Surabaya, Malang, Denpasar, dan Makassar.
Tujuan klinik penulisan artikel ilmiah untuk memberikan pencerahan dan wawasan cara menulis ilmiah yang baik. Delapan narasumber memberikan berbagai topik untuk sukses menulis naskah ilmiah. Naskah peserta juga dibahas di dalam klinik tersebut. Dian juga ikut sebagai salah seorang anggota tim narasumber sejak 2012.
Namun, selain masalah kreativitas dan kebaruan ide, bahasa menjadi salah satu kendala lain. Sebagian besar artikel ilmiah internasional terbit dalam bahasa Inggris. Bagi para peneliti Indonesia yang proses pendidikannya tidak dibekali dengan pendidikan bahasa Inggris yang memadai akan sangat mengalami kesulitan.
Bagi mereka yang lolos mendapatkan pendanaan, telah melaksanakan penelitian dan mendapatkan temuan hasil penelitian, dan juga dapat menulis dalam bahasa Inggris, belum serta merta dapat lolos saringan editor dan penelaah sejawat dari berbagai jurnal kelas atas.
Proses penerbitan hasil penelitian di jurnal menuntut kesabaran dan ketekunan. Telaah dari penelaah sejawat yang rinci kadang membuat peneliti hilang kesabaran. Sebagian dari peneliti merasa hasil yang didapatkannya sudah terbaru dan sempurna. Tapi tidak jarang editor dan penelaah sejawat menyatakan sebaliknya. Terbitnya naskah ilmiah pada jurnal bereputasi internasional memerlukan tahapan yang bisa mencapai satu atau bahkan dua tahun.
Mengatrol skor sitiran
Sulitnya pekerjaan riset menjadi berlipat ganda bagi peneliti di Indonesia yang kini menghadapi dilema: untuk mendapatkan dana penelitian dari Kementerian Ristekdikti mereka harus menunjukkan hasil publikasi ilmiah dalam jurnal yang terindeks Scopus, pusat data ilmiah komersil yang berbasis di Belanda. Sementara untuk menerbitkan karya ilmiah, terlebih di jurnal kenamaan, memerlukan data dari hasil penelitian.
Banyak dosen yang resah karena sejak 2018 dosen yang ingin mengajukan proposal penelitian harus sudah memiliki skor H-index Scopus minimal dua untuk bidang sosial dan tiga untuk sains.
Karena merasa sulit menembus jurnal internasional bereputasi, maka beberapa dosen Indonesia mengambil jalan singkat untuk menyelenggarakan lokakarya dan seminar internasional di perguruan tinggi. Luaran dari kegiatan ini berupa prosiding–umumnya abstrak dari penelitian atau makalah presentasi yang tidak ditelaah secara baik oleh penelaah sejawat–yang kemudian didaftarkan ke Scopus.
Jalan singkat lain untuk menaikkan indeks Scopus adalah memanipulasi jumlah sitiran. Rizqy Amelia Zein dari Universitas Airlangga telah menulis mengenai tindakan sitasi selfie atau self citation, yaitu menyitir artikel sendiri. Ini adalah jalan paling mudah untuk membumbungkan jumlah sitiran dan H-index scopus. Jalan ini ternyata banyak juga ditempuh oleh peneliti internasional.
Selain menyitir karya sendiri, beberapa peneliti terkadang membangun kartel sitiran. Untuk lebih cepat meningkatkan jumlah sitiran, beberapa peneliti bergabung dan saling menyitir artikel kelompok tersebut.
Beberapa waktu lalu, ilmuwan tanah dari Spanyol kedapatan sebagai gembong yang mengerakkan sekumpulan ilmuwan yang saling mensitasi artikel anggota tersebut. Alhasil H-index gerombolan tersebut melonjak tinggi. Salah satu anggota kartel tersebut diberhentikan menjadi editor beberapa jurnal sementara seorang anggota lainnya diperiksa oleh Universitas Wageningen sebagai tersangka pelanggaran etis.
Apa solusinya?
Sebaiknya, Kementerian Ristekdikti tidak hanya menjadikan kuantitas publikasi dan skor H-index Scopus sebagai tolak ukur keberhasilan program penelitian dan publikasi internasional. Kualitas artikel ilmiah yang diterbitkan oleh jurnal internasional bereputasi lebih bermakna.
Untuk rekan sejawat dosen Indonesia, alangkah baiknya kita berlomba meningkatkan kualitas hasil penelitian dan publikasi ilmiah. Rentang waktu yang agak lama ketika proses revisi naskah ilmiah oleh para reviewer mari kita sikapi sebagai proses peningkatan kualitas saintifik kita.
Ketika artikel terbit di jurnal bereputasi, akan menarik perhatian kolega ilmuawan dunia bila dibandingkan dengan terbitnya artikel kita di prosiding seminar.
Bagi para ilmuwan dunia, prosiding bukan tempat mereka mempublikasikan hasil penelitiannya. Jurnal sekelas Nature dan Science itulah yang mereka impikan dan layak diimpikan setelah kita terbiasa menulis dengan kualitas tinggi.(theconversation.com)