Jakarta. Selain perasaan terancam terhadap kelompok lain, intoleransi terhadap kelompok agama atau etnik yang berbeda juga disebabkan oleh penyebaran berita-berita bohong dan ujaran kebencian. “Perkembangan media yang pesat selain membawa dampak positif juga harus diakui berdampak negatif dalam kaitannya dengan intoleransi dan radikalisme di Indonesia,” jelas Cahyo Pamungkas selaku Ketua Tim Peneliti Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan LIPI.
Cahyo menjelaskan, LIPI berupaya merespon fenomena ini melalui penelitian empiris multidisipliner. Metode penelitian yang digunakan mencakup survey nasional terhadap 1.800 responden di sembilan provinsi, dan analisis diskursus dan jaringan terhadap sejumlah media sosial dan media online. “Ujaran kebencian dapat ditandai dengan bentuk-bentuk ujaran yang merendahkan dan meliyankan kelompok lain yang dianggap berbeda,” ungkapnya.
Cahyo mengungkapkan, penelitian ini juga menemukan bahwa menguatnya sentimen konservatisme agama di masyarakat bukan hanya ekspresi kultural dan ideologi. “Lebih jauh lagi, hal ini rentan dimanfaatkan oleh aktor-aktor tertentu untuk mendapatkan sumber daya ekonomi maupun politik,” jelasnya. Ia mengungkapkan, meskipun secara kehidupan sosial masyarakat relatif toleran, namun secara politik ada penolakan yang kuat terhadap pemimpin yang berbeda agama
Dirinya juga mengungkapkan, sejumlah ujaran kebencian muncul dengan sistematis dibuat oleh kelompok sosial tertentu untuk menciptakan narasi negatif yang telah berimplikasi pada dekonstruksi makna dan semangat kebangsaan. Walaupun pemerintah telah menetapkan UU ITE, akan tetapi dalam praktiknya penerapan undang-undang ini terkesan agak hati-hati,” jelasnya. “Temuan tim peneliti menunjukan pengetahuan dan kepercayaan masyarakat terhadap berita-berita palsu di media sosial dapat dikatakan tinggi,” tutupnya. (LIPI.GO.ID)