JAKARTA – Pasca diterapkannya sistem demokrasi 1998, Indonesia menetapkan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah sejak 2001. Selain desentralisasi dan otonomi yang diberlakukan secara umum di daerah-daerah di Indonesia, Pemerintah juga memperhatikan beberapa daerah yang dikategorikan khusus dan istimewa dengan memberikan otonomi khusus (Otsus) kepada Aceh, Papua/Papua Barat, dan Daerah Istimewa kepada Yogyakarta.
Namun sayangnya permasalahan otsus di beberapa daerah tersebut masih jauh dari angan-angan awal membangun bangsa dari daerah. Seperti di Aceh misalnya, Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf ditangkap oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), atas kasus suap penyaluran dana otonomi khusus. Di Papua dana otsus tidak berdampak signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat karena IPM (Indeks Pembangunan Manusia) dan Indeks capaian MDGs (Millennial Development Goals) di Papua peringkat terbawah. Berdasarkan temuan BPK, ada penyelewengan dana otsus sebesar Rp. 380 miliar.
Melihat hal tersebut, Perpustakaan Soepardjo Rustam BPP Kemendagri menggelar diskusi dan bedah buku ‘Politik Pengelolaan Otonomi Khusus dan Istimewa’ karya Tim Peneliti Politik LIPI. Hadir sebagai narasumber Nasir Djamil selaku Komisi III Anggota DPR RI (Dapil Aceh), Velix Vernando (Direktur Aparatur Negara Bappenas), dan Nyimas Letty Azis (Editor Buku). Acara dimoderatori oleh Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kemendagri, Doddy Riyadmadji.
Nyimas mengatakan, pemberian otsus kepada Aceh dan Papua/Papua Barat lebih dilatarbelakangi faktor politik untuk menghentikan konflik dan berkembangnya separatisme. Sedangkan pemberian otsus bagi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta lebih kepada faktor historis dan budaya yang dimiliki. “Sebagai konsekuensinya, implementasi otsus dan istimewa lebih merefleksikan kepentingan politik dan orientasi kekuasaan ketimbang penciptaan kesejahteraan masyarakat lokal. Hal ini kontradiksi dengan tujuan otsus itu sendiri yang pada dasarnya untuk menyejahterakan masyarakat lokal,” terangnya.
Dengan latar belakang tersebut tim peneliti otonomi daerah Pusat Penelitian Politik LIPI pada tahun 2016 lalu mengkaji persoalan pengelolaan dana otonomi khusus di Aceh dan Papua Barat, dan dana istimewa di Yogyakarta. Kajian ini khususnya dimaksudkan untuk menganalisis sejauhmana pemanfaatan dan pengalokasian dana otsus dan istimewa untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal tidak hanya dilihat dari perspektif administrasi tetapi juga perspektif politik.
Velix Vernando mengatakan harus ada kerangka besar revisi UU Otsus, seperti kerangka SDM (Sumber Daya Manusia) nya melalui kebijakan dan manajemen ASN (Aparatur Sipili Negara). “Lalu adanya penguatan pelayanan publik dan inovasi daerah, dan peran serta dan kesempatan pada masyarakat dalam pemerintahan di semua tingkatan,” paparnya.
Harapannya dengan adanya diskusi dan penyelenggaraan Bedah Buku ini, masalah otsus di beberapa daerah bisa ke arah yang lebih baik lagi. “Saya berharap diskusi semacam ini lebih sering lagi, kalau bisa setahun dua kali,” tutup Doddy. (IFR)