Hasil-hasil riset terkait arkeologi di Maluku dipaparkan di konferensi internasional Kongres ke-21 Asosiasi Prasejarah Asia Pasifik (Indo-Pacific Prehistory Association – IPPA) di Hue, Vietnam.
Ahli kepurbakalaan dari Balai Arkeologi Maluku Marlon Ririmasse saat dikonfirmasi di Ambon, Kamis (4/10), membenarkan bahwa lembaganya menjadi salah satu peserta dalam konferensi internasional prasejarah Asia Pasifik yang juga dihadiri oleh hampir seribu ilmuwan, peneliti dan akademisi dari 40 negara di dunia.
“Dulu Maluku mendunia karena rempah-rempah, sekarang sudah waktunya Maluku mendunia karena ilmu pengetahuan,” katanya.
Kongres IPPA merupakan pertemuan ilmiah arkeologi terbesar di kawasan Asia Pasifik yang berlangsung setiap empat tahun sekali.
Pertemuan ilmiah IPPA ke-21 ini terselenggara atas kerja sama dengan Akademi Ilmu Pengetahuan Sosial Vietnam dan dukungan penuh pemerintah setempat.
Sedikitnya ada 42 sesi ilmiah dengan topik berbeda, mulai dari arkeologi prasejarah hingga pengelolaan pusaka dan sumberdaya budaya di Asia Pasifik yang ditampilkan oleh partisipan dari 40 negara.
Delegasi Indonesia diwakili oleh 50 peserta yang merupakan peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Arkenas) dan Balai Arkeologi dari seluruh Indonesia, serta para akademisi dan guru besar arkeologi dari beberapa universitas terkemuka tanah air.
Mereka tampil membacakan naskah ilmiah pada 10 sesi ilmiah yang berbeda.
Maluku, kata Marlon, berkesempatan memaparkan hasil-hasil penelitian di sesi keenam “Connecting The Dots: The Past of Maluku Archipelago from the Multidisciplinary Perspectives”.
Sedikitnya ada 11 naskah akademis yang dipresentasikan di sesi Maluku oleh para peneliti dari berbagai institusi, di antaranya Australian National University, University of Washington, National Taiwan University, Universitas Pattimura Ambon dan Balai Arkeologi Maluku.
Beberapa ilmuwan arkeologi terkemuka dunia, seperti Peter Belwood dan Ian Cladwell dari Australian National University juga turut hadir dan berpartisipasi di sesi tersebut.
Beberapa topik yang dipresentasikan di sesi Maluku, antara lain hasil penelitian arkeologi terkini di pulau-pulau terselatan Maluku oleh Shimona Kealy dari Australian National University.
Penelitian tersebut adalah kerjasama antara Australian National University, Universitas Gajah Mada dan Balai Arkeologi Maluku.
Kemudian ada Chung-Ching Siung dari National Taiwan University yang menyajikan hasil risetnya mengenai evolusi teknologi tembikar masa lalu di Maluku.
Sementara itu, Profesor Peter Lape dari University of Washington mempresentasikan hubungan dan jaringan pelayaran antara Pulau Seram dan Kepulauan Banda di Masa Lalu.
Guru besar Antropologi Universitas Pattimura, Ambon, Hermien Soselisa membacakan naskah akademis tentang Produksi dan Distribusi Sagu di Maluku dulu dan saat ini.
Sedangkan, Marlon Ririmasse yang merupakan penggagas sesi Maluku mempresentasikan naskah akademis tentang Arkeologi dan Kolaborasi Riset Internasional di Maluku.
“Saya mewakili Balai Arkeologi Maluku berperan sebagai koordinator pada sesi itu bersama dengan Peter Lape, Guru Besar Arkeologi dari University of Washington sekaligus Kurator Kepala pada Burke Museum, Seattle, Amerika Serikat,” ucapnya.
Selain di sesi keenam, beberapa hasil riset arkeologi di Kepulauan Maluku juga dibacakan dalam sesi lain. Topik menarik tentang arkeobotani dan pola konsumsi masa lalu pada situs arkeologi di pulau Kisar (Kabuapten Maluku Barat Daya) misalnya, dibacakan di sesi kedua yang bertema “Adventures in foodways from print – outs to practices”.
Demikian pula dengan hasil-hasil riset mengenai jaringan maritim masa lalu dan masyarakat kompleks di Indo-Pasifik dan topik migrasi, mobilitas serta praktek penguburan masa lampau di Asia Tenggara, menampilkan hasil penelitian di Maluku Utara oleh Rintaro Ono dari Tokai University, Jepang.
Menurut Marlon, beberapa akademisi dan dan ilmuwan yang hadir dalam sesi Maluku menyatakan bahwa sesi tersebut memberikan wawasan baru dalam memahami arkeologi di Asia Pasifik, di tengah berbagai topik di sesi lain yang telah menjadi tema diskusi ilmiah selama beberapa dekade. (Gatra.com)