Provinsi Bali berada pada peringkat keempat untuk jumlah penderita gangguan jiwa berat di Indonesia.
Dari empat juta warga Bali, sebanyak 0,23 persen merupakan Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ).
Hal ini disampaikan oleh Dr. Bambang Daryanto Putro, dosen Antropologi Universitas Udayana (Unud), dalam orasinya yang berjudul “Konstruksi Stigma Gangguan Jiwa” di Universitas Udayana, Kamis (20/9), melansir Tribun Bali, Senin (1/8/2018).
“Dari data Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan RI, Provinsi Balimasuk daftar lima besar gangguan jiwa berat,” ujarnya.
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementrian Kesehatan, provinsi yang memiliki gangguan jiwa terbesar adalah Daerah Istimewa Yogyakarta sebanyak 0,27 persen.
Pada posisi kedua ditempati oleh Aceh dengan jumlah 0,27 persen, ketiga adalah Sulawesi Selatan dengan 0,26 persen, dan di posisi keempat ada Bali dan Jawa Tengah sebanyak 0,23 persen.
Jika penduduk Bali per tahun 2017 berjumlah 4.230.051 jiwa, maka 9.729 warga Bali (mendekati angka 1 juta) mengalami gangguan jiwa berat (ODGJ). Ini termasuk angka yang sangat tinggi.
Sementara itu, World Health Organization (WHO) mencatat bahwa ada 540 juta penduduk di dunia menderita gangguan jiwa.
Sedangkan angka kekambuhan pada pasien gangguan jiwa yaitu 50 persen hingga 92 persen.
Hal ini diakibatkan karena kurangnya dukungan sosial dari keluarga maupun masyarakat.
Menurut Bambang, saat ini masih banyak orang yang beranggapan bahwa gangguan jiwa adalah noda akibat dosa yang dilakukannya sehingga masyarakat menjadi takut dan menghindar.
Anggapan ini menyebabkan orang yang mengalami gangguan jiwa belum mendapatkan penanganan yang baik.
Selain itu, banyak ODGJ yang takut dan tidak suka ditangani oleh dokter maupun psikolog.
Bahkan terkadang ada yang marah dan tersinggung karena mengganggap dirinya tidak sakit.
“Walaupun sudah di RSJ dan sudah kembali, di masyarakat tetap mendapat perlakuan diskriminatif. Ini karena adanya diagnosis dokter sebagai seorang yang memiliki identitas diri sebagai individu berbahaya. Itulah kesalahan masyarakat berpikir salah dan ketidaktahuan publik,” ucap Bambang lebih lanjut.
Seseorang yang mengidap gangguan jiwa akan selalu mendapatkan stigma diskriminasi dan marginalisasi.
Stigma tersebut membuat keluarga menjadi malu dan masyarakat semakin takut sehingga ODGJ akan dikucilkan oleh masyarakat.
“Akibatnya proses pengobatan akan tertunda, memperbesar penderitaan dan menghambat penyembuhan dan menghambat kembalinya penderita ke masyarakat,” tambahnya.
Sistem perundangan-undangan dalam dunia kesehatan juga belum membantu para penderita gangguan jiwa untuk memperoleh kesembuhannya.
I Dewa Gede Basudewa, Wakil Direktur Pelayanan RSJP Bali, membenarkan bahwa Bali menduduki posisi keempat di Indonesia dengan penderita gangguan jiwa berat.
Menurutnya, data tersebut berdasarkan hasil Riskesdas tahun 2013 lalu.
Riset tersebut merupakan penelitian berbasis sampel, dan bukan survei seluruh masyarakat.
Sedangkan, pada tahun 2018, sedang dilakukan riset ulang oleh litbangkes khusus di Kementerian Kesehatan dengan gabungan beberapa departemen, untuk memperbaharui datanya.
Meski demikian, sebelum hasil Riskesdas 2018 diumumkan, maka data Riskesdas tahun 2013 masih akan tetap digunakan.
“Seluruh Indonesia menggunakan data 2013 ini hingga data tahun 2018 diekspos,” kata Basudewa.
Berada di peringkat empat, membuktikan bahwa hampir 2/1000 penduduk Bali mengalami gangguan jiwa berat.
Basudewa belum berani memastikan apakah ada peningkatan maupun penurunan penderita gangguan jiwa berat berdasarkan tahun 2013 hingga kini.
Pihaknya memilih untuk menunggu hasil riset 2018 untuk memantau perkembangannya.
“Sulit untuk diprediksi. Paling tidak, populasi gangguan jiwa yang sudah ditangani, baru akan terpantau pada hasil riset 2018. Sebab pada riset tersebut diungkapkan pula angka kunjungan ke rumah sakit. Dari situ nanti kita lihat, bukan hanya jumlahnya saja, namun juga seperti apa upaya para keluarga mencari pertolongan dari pasien-pasien itu,” ujarnya.
Dari penelitian tersebut ditemukan pula bahwa 14,3 persen seseorang yang mengalami gangguan jiwa berat pernah dipasung.
“Karena ini sampling, kami beranggap dari 7.000 pasien gangguan jiwa yang pernah dilayani, berapa kali dalam satu tahun yang kambuh berulang-ulang di rumah sakit, maka 14,3 persen dari pasien itu pasti ada riwayat dipasung. Ini yang kami waspadai, mana yang sudah pernah dipasung, mana yang akan dipasung, dan mana yang kembali dipasung,” tambahnya.
Menurut Bambang, pemasungan terjadi karena keluarga malu, sehingga mereka menutup diri dari masyarakat.
Padahal kondisi ini membuat penderita semakin memburuk. (*)
Artikel ini pernah tayang di nationalgeographic.grid.id dengan judul “Bali Peringkat 4 Jumlah Penderita Gangguan Jiwa Berat di Indonesia” (tribunnews.com)