Pemilihan legislatif (Pileg) layaknya pasar kaget. Ramai dan tak digelar tiap hari.
Dan, yang pasti banyak barang baru. Sebagian mutunya bagus. Tapi tidak sedikit yang kualitasnya KW.
Ya, seperti pasar kaget karena dalam Pileg juga masyarakat sering dibuat terkaget-kaget.
Sebab, ada orang-orang baru yang tak diperhitungkan sebelumnya, tiba-tiba maju jadi wakil rakyat.
Layaknya sebuah pasar, orang yang berkompetisi dalam Pileg harus bisa menjawab tuntutan masyarakat.Jika tidak, dipastikan si calon tak akan dipilih. Branding dan kemasan kerap menjadi faktor yang sangat menentukan seorang caleg terpilih.
Orangnya pinter, tapi tak punya brand dan kemasan yang bagus, dipastikan bakal tersisih.
Demikian juga sebaliknya. Orang yang kecerdasannya pas-pasan, tapi punya “kemasan” yang bagus, dipastikan bakal menjadi pilihan favorit.
Agar bisa memenangkan kontestasi, seorang caleg haruslah memiliki kemasan dan brand yang oke.
Selain itu, mereka harus rajin melakukan sosialisasi dan pengenalan diri.
Lantas, berapa besar biaya yang harus disediakan oleh mereka yang ingin maju sebagai caleg?
Popularitas Menentukan
Anggota Komisi XI DPR yang juga politisi PDI-P Indah Kurnia menceritakan faktor popularitas menjadi sesuatu yang sangat menentukan.
Semakin populer seorang caleg, biaya kampanye akan semakin bisa ditekan.
Politisi PDI-P Indah Kurnia. Foto: Parlementaria
Dia mengaku bersyukur, profesi yang pernah dilakoni sebelum menjadi anggota DPR bisa membantunya membangun popularitas.
Indah Kurnia merupakan mantan karyawan PT Bank Central Asia Tbk (BCA).
Posisi terakhir yang dia pegang adalah Kepala Cabang BCA Tunjungan.
Posisi tersebut sangat membantu dia mengenal banyak orang.
“Bahkan, saya hafal nomor rekening sejumlah nasabah BCA. Saya bertemu mereka, yang saya sebut nomor rekeningnya, hahaha…,” kata Indah saat berbincang dengan Kompas.com, Sabtu (28/7/2018).
Selain menjadi bankir, Indah juga menjadi penyanyi panggung dan manajer klub sepakbola Persebaya.
Dari situlah, popularitas dan dukungan tak sulit untuk diperoleh.
“Pas saya maju jadi caleg tahun 2009, saya hanya mengeluarkan uang Rp 90 juta. Ya itu tadi, karena saya tidak perlu lagi kampanye untuk memperkenalkan diri,” akunya.
Indah mengaku, dana tersebut tidak besar jika dibandingkan dengan caleg lain yang maju dalam kontestasi pemilihan legislatif.
Habiskan Rp2 Miliar
Kisah berbeda diungkapkan oleh seorang mantan caleg yang gagal maju ke Senayan.
Sebut saja namanya Wawan. Seorang mantan komisaris salah satu BUMN.
Tahun 2014 dia mencoba peruntungan di dunia politik dengan maju sebagai caleg Partai Demokrat.
Sehari-harinya lebih banyak dihabiskan di Jakarta dan Jawa Timur. Akan tetapi, pada 2014 dia mendapat tawaran untuk maju di salah satu daerah pemilihan (Dapil) di Jawa Tengah.
Dia tak menyia-nyiakan tawaran tersebut. Berbekal keyakinan dan tabungan, Wawan berkompetisi di wilayah yang sama sekali tidak dia kenal.
Untuk memuluskan keinginannya itu, dia merekrut tim pemenangan.
Saksi-saksi juga untuk mengawal proses pemungutan suara.
Untuk sosialisasi dan personal branding, Wawan sering menginap di rumah-rumah penduduk di Dapil yang akan dia wakili.
Komunikasi dia lakukan secara intensif. Caranya, dengan menggelar berbagai pertemuan.
Namun di akhir pemilihan, dia harus tersingkir. “Saya habis Rp 2 miliar untuk kampanye kemarin,” ungkap dia.
Merasakan pahitnya kekalahan dalam kompetisi Pileg, Wawan memutuskan tidak lagi maju dalam kancah tersebut tahun depan.
Hasil Riset
Direktur Prajna Research Indonesia Sofyan Herbowo mengatakan biaya untuk branding politik memang tidak sedikit.
Semakin rendah popularitas seseorang, biaya akan semakin mahal.
Hal lain yang juga menentukan murah-mahalnya modal maju sebagai caleg adalah tingkat literasi media.
Semakin tinggi tingkat konsumsi media di suatu daerah, semakin murah biaya untuk pencalegan.
Dari riset yang selama ini telah dilakukan, Sofyan menyebutkan ada biaya minimal yang harus disiapkan oleh seorang caleg saat akan menghadapi Pileg.
Adapun perinciannya sebagai berikut:
1. Calon anggota DPR RI : Rp 1 miliar-RP 2 miliar
2. Calon anggota DPRD Provinsi : Rp 500 juta-Rp 1 miliar
3. Calon anggota DPRD kabupaten/kota : Rp 250 juta-Rp 300 juta
“Biaya tersebut minimal sekali, dan bahkan kebutuhannya bisa lebih besar dari itu,” kata dia.
Sofyan menyebut, seorang public figure papan atas saat maju menjadi calon anggota DPR RI dari Dapil Jakarta, masih harus merogoh kantong sebesar Rp 2 miliar.
Padahal dengan popularitasnya itu, secara teori orang tersebut bisa menekan biaya kampanye.
“Tapi nyatanya masih tetap harus mengeluarkan uang. Padahal Jakarta adalah salah satu wilayah yang political cost-nya rendah karena masyarakatnya sudah melek media,” jelas Sofyan.
Habis Rp5 Miliar tetap kalah
Sementara itu Wawan mengungkapkan, rekannya yang sama-sama maju dalam Pileg 2014 di salah satu Dapil Jawa Tengah bahkan sampai mengeluarkan dana sekitar Rp 5 miliar.
Dana itu sebagian besar digunakan untuk memasang baliho-baliho berukuran besar.
“Tapi dengan biaya sebesar itu, dia tetap kalah,” jelas Wawan.
Untuk tahun 2019, Wawan menyebut, biaya untuk maju sebagai caleg bisa lebih besar lagi dari 2014.
Laju inflasi pastinya turut memengarui cost yang harus dikeluarkan.
Bagaimanapun, maju sebagai caleg memang membutuhkan dana besar.
Jika biaya itu dianggap sebagai investasi, maka itu masuk dalam kategori high risk.
Sedangkan untuk return-nya agak sedikit sulit “didefinisikan”.
High risk karena besar kemungkinan biaya yang telah dikeluarkan akan menguap begitu saja saat perolehan suara minim.
Sementara itu untuk return, dalam politik memang susah diukur.
Terlepas dari return yang diperoleh seorang caleg, Sofyan berpendapat strategi kampanye dan positioning seorang caleg menjadi kunci bagi sebuah kemenangan.
Dengan demikian, biaya investasi yang dikeluarkan selama kampanye benar-benar bisa membawa “kebahagiaan” dan “kegembiraan” bagi seorang caleg. (kompas.com)