News

Agar Hasil Riset tak Hanya Ditumpuk di Perpustakaan

Pekan lalu, Menristekdikti Mohamad Nasir mengusulkan ada satu badan khusus untuk mengkoordinasi kerja kementerian dan lembaga yang mengembangkan riset dan inovasi. Cara ini diupayakan agar setiap lembaga melakukan peran yang sesuai untuk menghasilkan riset yang optimal. Secara sederhana, lembaga ini akan disebut Badan Riset Nasional (BRN).

Nasir mengatakan hal tersebut di sela-sela dia menghadiri Forum Riset Life Science Nasional (FRLN), pekan lalu. Usulan ini kabarnya sudah disampaikan Presiden Joko Widodo.

Dalam waktu dekat Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (KemenkoPMK) akan menggelar pertemuan tingkat eselon satu untuk membahas usulan dibentuknya BRN. Sebagai gambaran, lembaga ini akan menugaskan masih-masih lembaga riset mengenai tugasnya masing-masing. LIPI tugasnya apa, BPPT tugasnya apa.

Kepala Lembaga Penerangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Thomas Djamaluddin mengatakan pertemuan itu menjadi dialog antara kementerian dengan beberapa lembaga penelitian terkait usulan badan baru tersebut. Diakuinya, selama ini telah terjadi tumpang tindih antar lembaga-lembaga riset sehingga perlu ada pembenahan.

Soal tumpang tinduh riset bukan hanya diakui oleh Thomas. Menristek dari masa ke masa pun mengakui yang sama. Terakhir Nasir mengatakan dana riset 2017 sebesar Rp 24,9 triliun menghasilkan duplikasi dan rumpang tindih riset.

Soal duplikasi, saya teringat ketika hendak mengajukan proposal penelitian untuk skripsi. Duplikasi menjadi salah satu ketakutan saya. Bagaimana jika penelitian yang akan saya lakukan sudah pernah dilakukan oleh angkatan sebelum saya? Bagaimana jika riset yang akan saya lakukan sudah dilakukan di kampus lain?

Duplikasi menjadi hal yang sangat mungkin, apalagi jika hasil riset sebelumnya tidak dipublikasikan secara luas. Ini baru penelitian di skala kampus untuk kelulusan yang biaya risetnya ‘tidak seberapa’ dibandingkan dana riset 2017. Tapi dana yang tidak seberapa ini tentu seharusnya bisa diarahkan agar tetap bermanfaat, bukan asal penelitian, asal lulus lalu kemudian ditumpuk di perpustakaan.

Dalam skala yang lebih luas, riset tanpa publikasi yang mumpuni sangat mungkin untuk terjadi duplikasi. Apalagi Indonesia memiliki banyak sekali kampus yang belum memiliki fokus tertentu terhadap penelitian atau mengklaim sebagai kampus dengan spesifikasi tertentu. Dalam hal ini, klasterisasi kampus tentu diperlukan agar fokus penelitian dalam skala kampus bisa dilakukan lebih terarah.

Misalnya, kampus di wilayah Indonesia Timur, difokuskan untuk riset di bidang maritim. Kampus di wilayah Indonesia Barat fokus di bidang pertanian. Hal ini penting agar kampus bisa menyusun roadmap penelitian yang sesuai garis yang sudah disepakati oleh para pemangku kepentingan riset dalam skala yang lebih luas. Selain itu, adanya database penelitian nasional bisa menjadi upaya untuk meminimalisasi terjadinya duplikasi riset.

Jikalau pemerintah akhirnya membentuk badan riset ‘hanya’ untuk sekadar mengkordinasikan riset, akan sayang sekali. Bukankah anggaran yang dibutuhkan lebih bermanfaat jika digunakan untuk riset itu sendiri?

Menurut hemat penulis, pembentukan sebuah badan koordinasi tidaklah urgent. Cukuplah kordinasi dilakukan dalam forum-forum riset yang sudah jamak dilakukan, hanya dalam skala yang lebih intensif. Katakanlah, forum-forum seperti FRLN perlu diintensifkan, tanpa harus membuat badan baru.

Bicara soal riset dan inovasi, memang sudah menjadi pekerjaan rumah sejak lama. Pelaku industri pun mengeluhkan hasil riset belum sesuai kebutuhan industri nasional. Banyak kalangan mengeluhkan belum sesuainya riset dengan kebutuhan industri.

Alhasil, para pelaku industri pun mencari solusi dengan membangun semacam sekolah tinggi. Sekolah tinggi yang didirikan ini diharapkan menjadi jawaban kebutuhan industri. Sekolah tinggi ini menggunakan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan industri.

Soal penelitian dan output nyata yang dihasilkan sebenarnya sudah ada beberapa wadah yang sudah difasilitasi pemerintah maupun swasta. Sebut saja kompetisi-kompetisi seperti PIMNAS yang hasilnya rata-rata bisa menjadi solusi atas permasalahan yang ada yang bisa diselesaikan dengan riset. (republika.co.id)

Join The Discussion