Jakarta, Hakam mengatakan tarik-ulur lainnya tentang kepala daerah kabupaten/kota dipilih langsung, karena Pilkada serentak dimulai pada 2015 dan pemilu serentak 2019. Sedangkan Pilkada serentak nasional akan berlangsung pada 2021. Itu agar ada pemilu sela, ada jeda politik, serta terkait dengan sengketa pemilu yang kemungkinan bertambah banyak,” tegas Hakam Naja.
Selain itu kata politisi PAN itu, anggaran Pilkada selama ini dari APBD, dan ke depan harus dari APBN. Mengapa? Kalau anggarannya dari APBD seperti kasus Pilkada Lampung, mereka tetap ngotot digelar pada 2014 lalu. Karena itu, ke depan Pilkada harus tunduk pada pusat, sehingga pemerintah daerah tidak bisa main-main dengan anggaran. “Juga soal sengketa Pilkada, karena Mahkamah Konstitusi (MK) tak sanggup lagi, maka akan diserahkan ke Mahkamah Agung (MA), tapi hanya untuk Pilkada Provinsi,” ungkapnya.
Karena itu kata Hakam Naja, MA tak lagi mampu dibebani sengketa Pilkada untuk kabupaten/kota, karena tugasnya sudah berat, maka akan diuusulkan ditangani oleh Pengadilan Tinggi (PT), atau semuanya terpusat di Jakarta.
Djohermansjah juga mendesak agar RUU Pilkada itu disahkan segera, mengingat pada 2015 mendatang sebanyak 203 kepala daerah akan berakhir masa jabatannya atau daerah otonomi baru (DOB) pada 2015. “Jadi, akan ada Pilkada serentak grup I sebanyak 203 daerah. Ada bersamaan gubernur dengan bupati, semua ini akan mengurangi biaya dan konflik politik. Sedangkan Pilkada serentak grup II pada 2018 untuk 285 daerah,” ujarnya.
Sementara itu pada 2020 akan digelar Pilkada serentak menyeluruh (nasional) untuk 539 kabupaten/kota termasuk provinsi, kecuali Yogyakarta. “Untuk Pilkada 2018 masa jabatannya hanya selama dua tahun, sehingga tak dihitung satu periode. Namun, mereka bisa maju lagi (running) untuk 5 tahun berikutnya pada Pilkada tahun 2020 itu, juga menerima konvensasi,” katanya.
Menyinggung isu pecah kongsi kepala daerah dengan wakilnya, Djohermansjah menegaskan jika terdapat 331 kepala daerah dari 534 yang tersangkut kasus hukum. “Kasus mereka itu akibat ongkos Pilkada yang mahal akibat dipilih langsung. Untuk itu, pemerintah mengusulkan dipilih oleh DPRD. Tapi, kalau DPR memutuskan sebaliknya, pemerintah akan mengikuti,” pungkasnya. (Sjafri Ali/A-108)***
Sumber :www.pikiranrakyat.com