News

Begini Penelitian Internasional Soal Vape

JAKARTA – Baru-baru ini Pemerintah Indonesia telah melegalkan salah satu jenis produk tembakau alternatif, yakni rokok elektrik atau yang biasa disebut dengan vape. Dengan diterapkannya cukai cairan vape dalam Peraturan Menteri Keuangan No.146/PMK.010/20017 mengenai tarif cukai hasil tembakau, para pengusaha menyambut baik langkah ini karena meskipun masih tergolong sebagai industri baru pertumbuhan vape dinilai cukup berpotensi.

Data Direktorat Jenderal Bea Cukai menunjukkan bahwa pengguna vape pada tahun 2017 telah mencapai sekitar 950 ribu dengan 650 ribu di antaranya merupakan pengguna aktif. Namun demikian, perihal risiko kesehatan yang terdapat dalam produk tembakau alternatif, seperti vape dan produk tembakau yang dipanaskan bukan dibakar masih dipertanyakan oleh sebagian masyarakat.

Masih ada kekhawatiran mengenai tidak adanya perbedaan yang berarti antara rokok konvensional dengan produk tembakau alternatif. Menanggapi kekhawatiran serta anggapan masyarakat perihal produk tembakau alternatif tersebut, peneliti sekaligus Dosen Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Padjajaran Satriya Wibawa Suhardjo yang penelitiannya terpilih untuk dipresentasikan pada acara Global Forum on Nicotine di Warsaw, Polandia mengungkapkan, bahwa hal ini terjadi karena adanya mispersepsi.

“Anggapan negatif di masyarakat yang menyatakan bahwa vape sama berbahayanya dengan rokok ini jadi masalah karena ini tidak berdasarkan pada data dan fakta. Sewaktu menghadiri forum global nikotin bulan lalu itu saya banyak mendapatkan informasi terkait dengan produk tembakau alternatif, salah satunya vape,” ujar Satriya, Minggu, (15/7).

Dari pemaparan para peneliti yang hadir dari 50 negara tersebut diketahui bahwa sebenarnya konsep pengurangan bahaya yang terdapat dalam produk tembakau alternatif dapat dijadikan solusi untuk mengatasi permasalahan rokok. Pada forum internasional tersebut ia juga berkesempatan untuk memaparkan tentang penggunaan vape sebagai produk alternatif dari rokok di Jawa Barat.

Paparan ini dibuat berdasarkan analisis mengenai potensi dan dampak sosial pada perokok yang beralih ke vape. “Sejak dua tahun lalu ketika vape mulai menjadi suatu fenomena sosial di banyak daerah, terutama di Bandung, saya mulai aktif melakukan observasi lebih jauh.”

Ternyata, vape ini pertumbuhannya masih terus progresif bahkan banyak digunakan sebagai peralihan untuk mengurangi jumlah perokok. “Saat ini saya bersama dengan tim sedang melakukan riset mendalam untuk mengetahui bagaimana dampak sosial masyarakat dari kemunculan vape,” terang Satriya.

Dari riset yang telah berjalan selama dua bulan, Satriya mengaku, banyak sekali hal baru yang ia temukan seputar pengguna vape dan bagaimana anggapan masyarakat terhadap produk tersebut. “Dari hasil penelitian yang saya pelajari selama melakukan observasi dua tahun belakangan serta paparan para ahli dalam forum ini, saya melihat bahwa mispersepsi mengenai vape ini semakin luas digeneralisir sehingga menjadi semakin negatif, dan ini yang terjadi di masyarakat kita.”

“Padahal dari hasil-hasil penelitian internasional yang juga dibahas pada forum ini, fakta ilmiahnya menunjukkan bahwa vape memiliki potensi risiko kesehatan jauh lebih rendah dibandingkan rokok, bahkan hampir 95 persen.”

Data-data akurat ini yang harus masyarakat tahu sehingga paham subtansi intinya berdasarkan bukti ilmiah. Satriya juga mengatakan, salah satu alasan produk tembakau alternatif seperti vape bisa berkembang dengan cepat karena sudah banyak perokok yang berhasil berhenti dengan beralih menggunakan vape. Produk ini juga penggunaannya lebih mudah diadopsi oleh perokok. (IFR/Jawapos.com)

Join The Discussion