Larangan minyak sawit dikhawatirkan tidak akan menghentikan laju deforestasi dan kepunahan keragaman hayati. Kesimpulan tersebut disampaikan organisasi lingkungan International Union for Conservation of Nature (IUCN) di sela-sela Konferensi Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) di Paris, Perancis.
Wacana larangan penggunaan minyak sawit sempat mencuat setelah Parlemen Eropa menolak penggunaan sawit sebagai bahan baku biodiesel mulai 2021. Setelah melalui negosiasi trilog antara parlemen, komisi dan negara-negara anggota, Uni Eropa akhirnya menunda larangan hingga tahun 2030.
Selain merusak hutan alam, IUCN juga mengakui perkebunan sawit mengancam keragaman hayati global lantaran dibuka di kawasan yang kaya spesies flora dan fauna. Organisasi yang bermarkas di Swiss itu mencatat produksi minyak sawit mengancam eksistensi lebih dari 190 satwa, antara lain Orangutan, Kera Ungka dan Harimau Sumatera.
Amerika Selatan Terancam
Kawasan yang dibidik untuk perluasan perkebunan sawit merupakan habitat alami untuk lebih dari separuh mamalia paling langka di Bumi dan dua pertiga jenis burung yang terancam punah.
Tapi jika sawit dilarang, maka produsen harus mencari sumber minyak nabati lain seperti minyak Rapa. Dalam hal ini ekosistem hutan tropis dan sabana di Amerika Selatan dianggap yang paling terancam ekspansi perkebunan.
“Jika diganti dengan perkebunan yang lebih besar untuk biji rapa, kedelai dan bunga matahari, maka ekosistem dan jenis satwa yang lain yang akan menderita,” kata Ketua Gugus Tugas Minyak Sawit di IUCN, Erik Meijaard.
Minyak sawit bersertifikat selama ini tidak terbukti banyak membawa perubahan dalam mencegah deforestasi ketimbang yang tidak bersertifikat, begitu menurut studi IUCN. Meski begitu lembaga tersebut mengakui setifikasi sawit adalah hal baru dan masih memiliki potensi untuk perbaikan. IUCN juga mendesak pemerintah untuk melindungi kawasan hutan dan mengurangi permintaan pada minyak sawit sebagai bahan bakar.