Jumlah kasus depresi dan kekhawatiran secara global menunjukkan peningkatan, termasuk di Indonesia. Selama puluhan tahun, berbagai penelitian menghubungkan kesehatan mental – seperti depresi dan gangguan kecemasan – dengan kondisi kimiawi di otak, seperti kekurangan serotonin atau dopamin.
Namun ada satu penelitian dengan cara yang unik dengan sudut pandang berbeda. Penelitian ini menyimpulkan, pendapatan atau gaji seseorang berpengaruh terhadap kesehatan mental seperti depresi, gangguan kecemasan, dan penyakit mental lainnya.
Ruri Nurulia dari akun klikdokter.com mengulas hal ini, yang kembali diunggah akun yang sama ke Facebook, Senin (4/6) pukul 20.30 WIB. Yuk disimak!
Pendapatan naik, kualitas hidup meningkat? Dilansir dari laman Vice, pada tahun 1970-an di Kanada, pemerintah memilih sebuah kota secara acak. Dipilihlah Dauphin, Manitoba, sebuah kota kecil di padang rumput, untuk eksperimen yang belum pernah dilakukan sebelumnya.
Sebagian besar warga di sana diberitahu sesuatu yang mengejutkan. Bahwa mereka akan diberi “hadiah” yang nilainya pada masa sekarang sekitar 16 ribu dolar Kanada (sekitar Rp172 juta).
Warga tidak diminta apa pun sebagai imbal balik dan tidak ada syarat dan ketentuan yang dapat membuat hadiah tersebut ditarik kembali. Mereka hanya diberitahu bahwa mereka adalah warga negara dan negara ingin warganya memiliki kehidupan yang baik.
Dr. Evelyn Forget dari Universitas Manitoba secara detail mencatat hasil penelitian yang berlangsung selama tiga tahun tersebut. Banyak hal penting terjadi selama eksperimen berlangsung, yakni:
1. Jumlah bayi lahir dengan berat badan rendah menurun, karena sang ibu mendapatkan nutrisi yang lebih baik.
2. Keinginan orang untuk belajar menjadi meningkat.
3. Hampir tidak ada yang menyerah dalam bekerja, meski ada beberapa orang yang menolak pekerjaan yang dianggap tidak bermutu dan mencari pekerjaan yang lebih baik.
Disimpulkan, standar kerja secara keseluruhan di kota tersebut meningkat. Hasil yang paling penting adalah rawat inap akibat gangguan mental menurun sebanyak 8,5 persen. Dibandingkan dengan dekade terakhir, yakni tingkat depresi global justru melonjak hingga 18 persen.
Hasil penelitian tersebut ditemukan cocok dengan pernyataan dari Badan Kesehatan Dunia yang berbunyi: “Kesehatan mental terjadi secara sosial. Ada atau tidaknya kesehatan mental berada di atas semua indikator sosial, dan ini membutuhkan solusi skala sosial maupun individu.”
Realitanya, depresi dan kecemasan timbul karena berbagai faktor. Beberapa terjadi karena faktor biologis, tapi yang banyak terjadi adalah karena faktor sosial dan psikologis.
Kepada Vice, Dr. Evelyn mengatakan bahwa ia mewawancara banyak orang yang termasuk dalam program pendapatan yang terjamin tersebut. Ia melihat bahwa pendapatan bekerja seperti antidepresan. (IFR/Tribunnews.com)