JAKARTA – Peristiwa kerusuhan di Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, yang berbuntut pembunuhan terhadap lima orang anggota Kepolisian Republik Indonesia Selasa (8/5/2018) dan teror di Surabaya yang terjadi Minggu (13/5/2018) mendapat perhatian luas.
Banyak orang ingin segera tahu informasi, sekaligus menyampaikan kabar. Oleh karena itu, setiap berita yang terkait dengan peristiwa itu akan mendapatkan perhatian lebih. Semakin dramatis berita yang disampaikan, maka semakin banyak sebaran berita tersebut.
Beberapa saat setelah peristiwa pengeboman di Surabaya, Kabid Humas Polda Jawa Timur, Kombes Frans Barung Mangera dikutip Jawa Pos mengatakan agar semua pihak tidak begitu saja menerima kabar yang beredar karena serangkaian berita bohong beredar dengan cepat.
Suatu penelitian yang dilakukan oleh para ilmuwan dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) menemukan bahwa berita bohong beredar lebih cepat daripada berita yang sebenarnya, atau klarifikasinya, melalui platform media sosial Twitter.
Sinan Aral, profesor di MIP Sloan School of Management dan salah satu penulis laporan penelitian tersebut mengatakan bahwa berita bohong menyebar lebih jauh, lebih cepat, lebih dalam dan lebih luas daripada kebenaran secara signifikan, di semua kategori informasi dan dalam banyak kasus.
Lebih jauh lagi, para ilmuwan tersebut menemukan bahwa penyebaran informasi palsu pada dasarnya bukan karena bot yang diprogram untuk menyebarkannya. Berita palsu itu tersebar dengan cepat karena kecepatan orang-orang me-retweet berita-berita semacam itu.
Para ilmuwan dari University of Buffalo baru-baru ini menemukan, kurang dari 10 persen pengguna Twitter yang menyatakan keraguan mereka ketika menghadapi twit palsu.
Situs Digital Trends menyebutkan bahwa penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal Natural Hazard mempelajari reaksi di Twitter terhadap empat desas desus yang berbeda selama dua bencana, masing-masing dari Boston Marathon Bombing dan Hurricane Sandy, termasuk berita bohong tentang banjir di New York Stock Exchange, dengan memeriksa 20.000 twit terkait.
Para peneliti itu mempelajari tiga jenis perilaku pengguna Twitter; menyebarkan berita palsu, mencari konfirmasi, dan meragukannya.
Hasilnya, seperti yang disampaikan di dalam rilis media University of Buffalo, adalah sebagai berikut:
86 sampai 91 persen pengguna Twitter menyebarkan berita palsu, baik dengan cara me-retweet atau pun dengan cara me-like unggahan tersebut.
Lima sampai sembilan persen berusaha untuk mengonfirmasi berita tersebut, biasanya dengan me-retweet sambil menanyakan apakah berita tersebut benar, dan
Satu sampai sembilan persen menyatakan keraguannya, sering kali dengan mengomentari bahwa twit tersebut tidak akurat.
Penulis utama penelitian ini, Jun Zhuang, PhD, yang juga seorang profesor di Department of Industrial and Systems Engineering, di School of Engineering and Applied Sciences, University of Buffalo mengatakan bahwa ini adalah penelitian pertama yang mempelajari bagaimana pengguna Twitter mengumbar berita palsu selama bencana. “Sayangnya, hasil penelitian ini tidak menggambarkan hasil yang menyenangkan,” ungkapnya.
Bahkan, dikutip dari EurekAlert, setelah berita palsu dibantah dan diberikan berita yang benar, baik melalui Twitter maupun media berita tradisional, para peneliti menemukan bahwa hanya kurang dari 10 persen pengguna yang menyebarkan berita palsu menghapus unggahan atau retweet mereka, dan kurang dari 20 persen pengguna yang sama mengklarifikasi cuitan palsu dengan twit baru.
“Temuan ini penting karena mereka menunjukkan betapa mudahnya orang tertipu ketika mereka berada dalam situasi paling rentan, dan peran platform media sosial cukup besar dalam menyebarkan berita palsu ini,” tambah Zhuang, yang juga pernah melakukan penelitian serupa terkait Hurricane Harvey dan Hurricane Irma.
Hal yang positif dari penelitian ini adalah, para ilmuwan menemukan ketika pengguna Twitter cenderung menyebarkan berita palsu selama bencana, Twitter dan platform media lainnya juga bergerak cepat untuk memperbaiki kesalahan informasi tersebut.
Zhuang juga menambahkan bahwa penelitian ini tidak memperhitungkan pengguna Twitter yang mungkin telah melihat twit berita yang benar, tetapi memutuskan untuk mengabaikannya.
“Bisa saja ada banyak orang yang telah melihat twit-twit ini, tetapi memutuskan bahwa twit-twit tersebut tidak akurat dan mereka memutuskan untuk mengabaikannya,” pungkas Zhuang, yang baru-baru ini menerima hibah sebesar 392 ribu Dolar AS dari National Science Foundation (NSF) untuk melakukan penelitian tambahan.
Termasuk di dalamnya penelitian untuk memahami faktor apa yang mendorong pengguna Twitter mengabaikan unggahan tertentu selama keadaan darurat, dan cara terbaik untuk menghilangkan berita palsu. (IFR/Beritatagar.id)