Hanya dalam tiga belas hari, identitas pelaku pengeboman di depan Kedutaan Besar Australia di Jakarta, terungkap. Empat belas tahun silam, bom yang menewaskan 9 orang dan melukai lebih dari 150 orang itu sempat membuat polisi kesulitan mencari identitas pelaku bom bunuh diri yang hancur berbarengan ledakan bom.
Herawati Sudoyo dan timnya dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, yang dimintai bantuan oleh kepolisian, kala itu sigap memeriksa sampel DNA yang terdapat pada ceceran darah dan bagian tubuh yang diduga pelaku tersebut. Dari ceceran darah, serpihan kulit gosong, dan bagian tubuh yang tersisa dari pelaku, sains mengungkap DNA pelaku dan kemudian identitas pelakunya dengan akurat yakni Heri Kurniawan alias Heri Golun.
Sejak itu, DNA forensik naik daun karena kegunaan praktisnya mampu mengidentifikasi pelaku terorisme secara akurat. Dan Herawati dianggap telah membuat terobosan dalam meletakkan dasar pemeriksaan DNA forensik kasus terorisme.
Kali ini Herawati bercerita tentang pilihannya mempelajari ilmu biologi molekuler, cabang ilmu yang pada era 1990-an, saat dia mengambil program doktor di Monash University, sangat tidak populer di Indonesia. Bahkan beberapa kawannya mencibir pilihannya karena menganggap cabang ilmu ini tidak punya masa depan.
Tanpa menghiraukan cibiran tersebut, dia memeriksa ribuan DNA, RNA, dan protein, termasuk riset genetik asal-usul manusia Indonesia.
Bersama Profesor Sangkot Marzuki, Herawati membangun kembali Lembaga Biologi Molekuler Eijkman yang sebelumnya mati suri sejak era 1960-an.
Edisi ketujuh Sains Sekitar Kita ini disiapkan oleh tim dengan produser Ikhsan Raharjo dan narator Ikram Putra. Selamat mendengarkan!