Sebuah ekspedisi laut dalam di perairan Selat Sunda oleh para peneliti dari Indonesia dan Singapura mengungkapkan setidaknya 12 spesies baru.
Menurut Profesor Dwi Listyo Rahayu ahli oseanografi dari LIPI, untuk penemuan spesies baru, yang bisa dipastikan adalah dari kelompok krustasea atau sejenis udang, kepiting dan kelomang.
“Dalam ekspedisi tersebut, ada 7 peneliti yang ahli dalam kelompok krustasea dan untuk sementara, spesies baru yang dipastikan adalah dari kelompok krustasea,” kata Dwi kepada Kompas.com, Rabu (18/4/2018).
Dia melanjutkan, namun secara keseluruhan, kami berhasil mengambil sampel biota dari 63 lokasi dan sekitar 12.000 ekor biota dikoleksi, serta sekitar 40 rekam data baru untuk perairan Indonesia.
Satu spesies baru yang ditemukan adalah seekor kepiting berkuran kurang lebih enam sentimeter yang diyakini para peneliti dari genus Rochinia.
Kepiting tersebut dikenal dengan nama kepiting “Telinga Besar”, karena memiliki lempengan yang mirip bentuk kuping yang berfungsi melindungi bagian mata kepiting.
Dwi menambahkan jika masih ada kemungkinan lebih banyak spesies baru dari kelompok spesies lainnya.
Dari Jakarta hingga Selat Sunda
Dilansir dari Straittimes, Selasa (17/4/2018), ekspedisi yang melibatkan 31 peneliti tersebut menemukan sekitar 800 spesies yang berasal dari 200 lebih famili ubur-ubur, moluska, bintang laut, bulu babi, cacing, kepiting, udang, spons, bunga karang dan ikan.
Tim peneliti menyusuri perairan Jakarta hingga Selat Sunda dan perairan lepas pantai Cilacap di perairan barat daya Jawa selama 14 hari, ujar Profesor Peter Ng, dari kepala Museum Sejarah Alam Lee Kong Chian di Universitas Nasional Singapura.
Para peneliti menggunakan kapal pukat, kapal keruk dan perangkat lain yang mampu menjaring hewan dari berbagai ukuran di dalam laut.
Secara total, mereka menyusuri 63 lokasi untuk mencari sampel di kedalaman 500 meter hingga 2 kilometer di bawah laut.
Profesor Dwi menjelaskan alasan para peneliti memilih Selat Sunda sebagai lokasi.
Rupanya hingga saat ini, belum ada penelitian tentang keanekaragaman hayati di perairan tersebut.
“Dari ekspedisi, kita mengerti mengapa belum pernah ada penelitian yang dilakukan di lokasi ini, karena wilayah lautnya sangat tidak bersahabat. Ombaknya besar, angin dan alun sangat tinggi, peta dasar laut yang tidak diketahui secara pasti, sehingga pengoperasian alat tangkap, seperti jaring dan trawl, sulit dilakukan,” katanya.
Dalam wawancara bersama Straittimes, Profesor Rahayu juga berkata sampah menjadi masalah dalam ekspedisi.
Hanya sekitar lima atau enam titik yang ditemukan tidak menjaring sampah.
Namun demikian, di antara tumpukan sampah laut tersebut, para peneliti justru menemukan seekor kepiting Hermit di balik celana dalam bekas.
“Bagaimana sampah mempengaruhi makhluk-makhluk, kita masih belum tahu. Tapi plastik lautan adalah masalah besar,” kata Profesor Peter Ng.
Hasil penelitian tersebut akan dipelajari dan hasilnya akan di diskusikan pada sebuah acara lokakarya pada tahun 2020 di Indonesia.
Setelah itu, ia akan diterbitkan dalam The Raffles Bulletin of Zoology. (IFR/Tribunnews.com)