News

Tsunami pers, dunia ilmiah, dan polisi

Ada dua perkara ketika informasi yang menyebut-nyebut tentang tsunami setinggi 57 meter akan terjadi di kawasan Pandeglang merebak di tengah masyarakat. Pertama, sudah barang tentu informasi itu meresahkan masyarakat.

Kedua, kekhawatiran masyarakat atas rencana polisi memanggil peneliti yang memaparkan hasil kajian tentang tsunami itu menjadi bentuk kriminalisasi kerja ilmiah dan akademis.

Tensi masyarakat atas kedua perkara itu sekarang boleh jadi mereda. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sudah memberikan penjelasan perihal informasi tsunami tersebut. Juga, polisi membatalkan rencana pemanggilan kepada peneliti yang memaparkannya.

Ada pelajaran berharga yang harus mendapat perhatian banyak pihak dalam kasus tersebut agar hal serupa tidak terulang kembali. Pada saat siapapun jauh lebih intim dengan informasi ketimbang masa sebelumnya, sejumlah faktor bisa membuat masyarakat rentan terhadap kegaduhan dan keresahan.

Keresahan warga bermula dari berita yang bersumber dari liputan Seminar Ilmiah Sumber-sumber Gempa Bumi dan Potensi Tsunami di Jawa Bagian Barat, yang diselenggarakan oleh BMKG dalam memperingati Hari Meteorologi Dunia Selasa (3/4/2018).

Widjo Kongko, peneliti tsunami pada Balai Pengkajian Dinamika Pantai Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), dalam seminar itu memaparkan kajiannya yang mengungkap tsunami setinggi 57 meter di Kabupaten Pandeglang, Banten.

Pers mengemas berita itu dengan nada seolah BPPT memprediksi tsunami di Pandeglang setinggi 57 meter. Berita menyebar dan menyulut keresahan.

Karena terdengar sangat spesifik menyebut wilayahnya, kabar itu membuat warga Pandeglang resah dan ketakutan. Warga saling bergantian memantau kondisi pantai, memantau pergerakan air laut. Selain menimbulkan keresahan, kabar tersebut juga disebut-sebut menyebabkan tingkat kunjungan wisata di kawasan itu menurun.

BMKG segera mengklarifikasi kabar tersebut. Menurut BMKG, pemaparan peneliti dalam acara tersebut bukanlah upaya melakukan prediksi; melainkan “mengungkap potensi yang masih perlu dikaji lebih lanjut berbasis data ilmiah yang lebih memadai.”

Yang tak terduga adalah reaksi polisi, yang akan memproses secara hukum peneliti BPPT tersebut. Hasil penelitian itu dianggap “meresahkan dan menghambat investasi.”

Rencana polisi itu menjadi kekhawatiran lain: apakah hasil penelitian dan kegiatan ilmiah bisa dipidanakan? Publik khawatir, rencana polisi untuk memanggil peneliti BPPT itu akan menjadi preseden kriminalisasi terhadap ilmuwan dan kegiatan ilmiah lainnya.

Rencana polisi untuk memproses hukum peneliti tersebut sebetulnya terasa tergesa-gesa. Keresahan masyarakat itu muncul berkat pemberitaan oleh pers. Oleh karena itu, hal yang pertama-tama perlu dipastikan adalah akurasi informasi yang disampaikan oleh pers.

Dalam kasus ini, belakangan terungkap unsur kelalaian pers dalam mempublikasikan berita mengenai tsunami di Pandeglang itu. Pers mengakui telah melakukan kesalahan dengan memberi kesan seolah BPPT memprediksi tsunami di Pandeglang dalam pemberitaannya. Padahal sang peneliti memaparkan potensi; bukan prediksi.

Hak jawab telah diberikan kepada sang peneliti BPPT. Pers juga telah mengaku salah dan meminta maaf. Polisi pun membatalkan rencananya untuk memeriksa sang peneliti.

Dalam kadar yang berbeda, keresahan serupa pernah juga terjadi akhir Februari lalu. Yakni saat pers memberitakan hasil liputan diskusi untuk kalangan terbatas antara BMKG dengan Wakil Gubernur DKI Jakarta.

Dalam acara itu Dwikorita Karnawati, Kepala BMKG Pusat, menyampaikan bahwa gempa yang bersumber dari patahan di sekitar jakarta bisa berkisar antara magnitudo 6 hingga 8,7. Gempa seperti itu berpotensi merusak Jakarta. Oleh karena itu, mitigasi bencana perlu dilakukan.

Kabar itu tidak menimbulkan keresahan yang meluas; dan dengan segera mereda setelah BMKG memberikan klarifikasi.

Pengalaman ini menunjukkan kurangnya literasi bukanlah satu-satu penyebab timbulnya masalah dalam masyarakat kita yang terkait dengan informasi. Warga masyarakat kita bukanlah satu-satu pihak yang dituntut bersikap arif terhadap informasi.

Pers adalah pihak lain yang juga dituntut bersikap arif, selain profesional, dalam mengemas dan menyajikan berita. Pers memang mempunyai tugas untuk meliput dan mewartakan peristiwa; terlebih jika peristiwa itu mengandung informasi yang perlu diketahui oleh publik.

Pada saat yang sama pers, dengan independensinya, dituntut untuk mampu memilah, memilih, dan memutuskan informasi yang patut dipublikasikan, dengan mempertimbangkan banyak hal–termasuk dampaknya terhadap masyarakat.

Dari sisi profesionalitas, pers juga dituntut untuk memperkuat kompetensi para jurnalis di dalamnya. Kompetensi itu bukan cuma terkait dengan keterampilan dasar jurnalisme, namun juga pemahaman yang memadai atas topik-topik yang diliputnya. Profesionalisme itu akan menghindarkan pers tergelincir kepada penyebaran informasi secara salah.

Sementara itu para ahli, akademisi dan ilmuwan yang menempatkan diri maupun diposisikan sebagai narasumber pemberitaan juga harus memastikan dirinya untuk tahu cara mengkomunikasikan gagasannya secara lugas dan populer. Hal itu bisa memperkecil kemungkinan terjadinya salah persepsi dalam pemberitaan.

Seperti juga kewajiban yang harus ditanggung pers, dampak luas terhadap masyarakat harus menjadi bagian dari pertimbangan para ahli, akademisi maupun ilmuwan yang bermaksud mempublikasi hasil riset. Sejak awal mereka harus jelas menentukan lingkup pirsawan dari publikasi itu: ditujukan untuk kalangan terbatas ataukah untuk kalangan umum.

Publik juga pasti berharap, polisi tidak bertindak gegabah dengan memeriksa para peneliti, ilmuwan dan akademi terkait hasil penelitian atau karya ilmiah dan akademis mereka. Tindakan itu membahayakan pengembangan ilmu dan pengetahuan -yang justru sedang dibutuhkan saat ini.

Kewaspadaan terhadap informasi tidak boleh berbelok arah menjadi tindakan represif yang mengancam kebebasan akademis dan ilmiah, kebebasan menyampaikan pendapat, dan kebebasan pers. (BERITAGAR.ID)

Join The Discussion