JAKARTA – Komunikasi risiko ke publik menjadi tantangan berat di kalangan ilmuwan. Media dituntut berperan dengan menyampaikan informasi yang mendidik. Persoalan yang muncul setelah paparan hasil penelitian tentang potensi tsunami di selatan Jawa menunjukkan adanya kesenjangan pengetahuan antara ilmuwan dan publik. Hal ini menuntut edukasi tentang risiko dengan bahasa yang mudah dimengerti publik. Media massa bisa berperan dengan pemberitaan yang akurat dan lebih fokus untuk mendorong upaya kesiapsiagaan.
Demikian terungkap dalam pertemuan antara akademisi, Badan dan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPPT), Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Polda Banten dan Polres Pandeglang, serta masyarakat Pandeglang. Pertemuan ini diinisiasi oleh Ikatan Ahli Bencana Indonesia (IABI).
“Gap (kesenjangan) terjadi antara ilmuwan dengan masyarakat, penegak hukum, dan juga media. Ini yang perlu dikomunikasikan dengan baik,” kata Sekretaris Jenderal IABI Lilik Kurniawan.
Dalam seminar ilmiah di BMKG, 3 April 2018, peneliti BPPT, Widjo Kongko, memaparkan hasil kajiannya dari pemodelan potensi tsunami di Jawa Barat. Salah satunya menyebutkan potensi ketinggian tsunami di pesisir Pandeglang, Banten, bisa mencapai 57 meter. Berita ini ditulis oleh media daring dengan menyebutkan BPPT memprediksi tsunami 57 meter di Pandeglang.
Dalam pertemyan ini, Ketua Paguyuban Nelayan Pandeglang Nawawi mengatakan, dampak pemberitaan ini memicu kepanikan di masyarakat pesisir. Berita ini kemudian disebar melalui media sosial. Masyarakat mengira tsunami 57 meter akan segera terjadi sehingga ada yang sudah mengungsi.
Perekayasa BPPT, Uderekh, mengatakan, kepanikan di masyarakat dipicu kesalahan pengutipan media. Oleh karena itu, dia berharap media bisa lebih bijak dalam menyampaikan informasi dari ilmuan dan tidak membuat tafsir sendiri. (IFR/Harian Kompas)