News

Peneliti Berencana Sebar Garam ke Atmosfer

Garam adalah salah satu bumbu masak yang lazim ada di dapur. Biasanya garam ditaburkan pada makanan untuk menambah rasa. Namun, bagaimana jadinya jika garam ditaburkan ke atmosfer? Apa yang akan terjadi?

Sebuah ide gila, menaburkan sejumlah besar garam ke atmosfer dicetuskan oleh Robert Nelson dari planetary Science Institute dan koleganya. Mereka mengusulkan rencana ini untuk mencegah perubahan iklim.

Ide ini mereka presentasikan di acara Lunar and Planetary Science Conference di Texas pada 21 Maret 2018 lalu.

Dalam laporan mereka, para peneliti menyebut garam merupakan zat yang sangat reflektif. Ini berarti, garam berpotensi memantulkan sinar matahari ke angkasa luar.

Dengan kata lain, menaburkan garam ke atmosfer diharapkan bisa mendinginkan bumi. Ide garam di atmosfer ini merupakan salah satu upaya termutakhir yang bisa mengimbangi perubahan iklim.

Selama ini, manusia dianggap gagal secara signifikan menurunkan emisi gas rumah kaca seperti karbon dioksida, yang meningkatkan suhu bumi. Idenya adalah menaburkan garam ke troposfer atas, lapisan atmosfer di mana kebanyakan pesawat komersial terbang saat kondisi awan kurang bersahabat.

Tanggapan Ilmuwan Lain Sayangnya, ide ini diragukan oleh para ilmuwan iklim yang lain. Itu karena ide tersebut merupakan geoengineering atau usaha skala besar yang disengaja untuk mengubah lingkungan sebagai sarana melawan perubahan iklim. Meski begitu, beberapa ilmuwan lain menyambut baik ide tersebut.

Salah satunya Michael Mann, seorang profesor meteorologi terkemuka di Penn State University. “Ini ide yang menaik,” ungkap Mann dikutip dari Live Science.

“(Tetapi) sebagian besar skema (geoengineering) ini, merkipun berpotensi menarik di permukaan, terlihat penuh dengan potensi konsekuensi yang tidak diinginkan ketika Anda melihatnya secara lebih rinci,” sambungnya.

Bukan yang Pertama Sebenarnya, ide ini bukanlah geoengineering pertama yang diusulkan untuk mengatasi perubahan iklim. Sebelumnya, para ilmuwan lain mempertimbangkan untuk menyuntikkan partikel kecil yang dikenal sebagai aerosol ke stratosfer, wilayah di atas toposfer.

Partikel aerosol tersebut diyakini juga seperti garam dapur, bertindak untuk mendinginkan bumi. Hal ini pernah terjadi saat gunung berapi di Islandia meletus pada tahun 939 hingga 940 sebelum masehi, tapi tentu saja dengan aerosol alami.

Fenomena ini menyebabkan salah satu musim panas terdingin yang dialami Nothern Hemisphere dalam 1.500 tahun. Sayangnya, ide menggunakan aerosol ini juga ditentang beberapa pihak. Alasannya adalah penggunaan aerosol seperti debu berlian atau alumina bisa berbahaya bagi lapisan ozon bumi dan kesehatan manusia.

Garam vs Aerosol Namun, pada 2015 ketika mempelajari garamyang menguap pada permukaan badan tata surya, Nelson menyadari seuatu. Dia menemukan bahwa garam meja bisa menjadi kemungkinan (pengganti aerosol).

Selain itu, garam lebih reflektif daripada alumina dan tidak berbahaya bagi kesehatan manusia. Apabila digiling menjadi partikel kecil dan dilepaskan ke troposfer atas, garam tidak akan menghalangi panas inframerah yang dilepaskan bumi.

Menurut Nelson, hal ini malah akan membantu bumi untuk menjadi lebih dingin. Meski sekilas ide ini sangat bagus, tapi proposal pelaksanaannya masih dalam tahap awal.

“Sulit untuk menekankan cukup banyak penelitian lebih lanjut yang diperlukan untuk memverifikasi penerapannya,” ujar Kelly McCusker, ilmuwan iklim di Rhodium Group, perusahaan riset independen di New York.

“(Selain itu), refelektansi aram sejauh ini memang telah diukur di laboratorium, tapi kita tidak tahu bagaimana sifatnya akan berubah saat pengiriman (ke troposfer atas),” imbuh McCusker.

McCusker menambahkan, berapa banyak garam yang diperlukan untuk mengurangi suhu pun tidak jelas. Meski begitu, MecCusker dan Mann sepakat bahwa cara terbaik untuk mengatasi pemanasan suhu bumi adalah dengan mengurangi emisi gas rumah kaca di seluruh dunia.

“Satu-satunya cara yang aman untuk mengatasi perubahan iklim adalah mengatasi akar penyebabnya, yaitu ketergantungan kita yang berkelanjutan pada pembakaran bahan bakar fosil,” kata Mann. (IFR/Tribunnews.com)

Join The Discussion