News

Riset Jadi Kunci Kesuksesan

BANDAR LAMPUNG, KOMPAS — Minimnya riset menjadi salah satu faktor merosotnya sejumlah komoditas pertanian yang menjadi andalan perekonomian masyarakat. Butuh keterlibatan banyak pihak agar pertanian dan iklim budidaya bergairah lagi.

Indonesia, misalnya, pernah menguasai pasar ekspor lada dunia hingga sebelum 2013. Ironisnya, kini pasar lada dunia dikuasai Vietnam yang sebelum tahun 1980 belajar dari Indonesia.

”Dari luas areal lada 80.000 hektar, Vietnam bisa menghasilkan 120.000 ton lada per tahun. Indonesia dengan lahan lada lebih luas, yaitu 170.000 hektar, hanya menghasilkan 90.000 ton lada,” kata peneliti dan pemulia lada dari Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro) Kementerian Pertanian, Nurliani Bermawie, Jumat (23/3) di Jakarta.

Produktivitas lada Vietnam saat ini rata-rata 2 ton per hektar. ”Sementara di Indonesia rata-rata hanya 800 kilogram per hektar,” katanya.

Menurut Nurliani, rendahnya produktivitas lada di Indonesia lebih disebabkan pola tanam petani yang belum intensif serta serangan penyakit batang dan hama penggerek batang yang belum diatasi dengan baik. Serangan hama ini terutama terjadi di Lampung yang menjadi sentra utama lada nasional.

Kondisi ini menyebabkan petani lada di Lampung mulai mengganti tanamannya dan menyebabkan penyusutan area kebun. Jika pada tahun 2010 area kebun lada di Lampung mencapai 25.600 hektar, pada tahun 2016 tinggal 10.800 hektar.

Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Hayati Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Enny Sudarmonowati mengatakan, saat ini Indonesia membutuhkan banyak penelitian bioteknologi untuk mengembangkan aneka komoditas pertanian yang strategis, termasuk lada. ”Sebelumnya, penelitian tentang lada memang masih kurang, tetapi akan kami intensifkan lagi,” katanya.

Menurut Enny, LIPI tengah menjajaki kerja sama dengan Kabupaten Bangka untuk mengembangkan lada di daerah ini. ”Untuk Lampung, sejauh ini belum ada penjajakan. Riset-riset kami lebih diarahkan pada implementasi. Jadi, kalau ada daerah yang berminat bekerja sama akan lebih baik,” kata Enny.

Ada yang berkembang

Pertumbuhan ekonomi Lampung dalam tiga tahun terakhir ini lebih tinggi daripada pertumbuhan ekonomi nasional. Pertumbuhan ekonomi nasional tahun 2015 tercatat 4,88 persen, sedangkan Lampung 5,13 persen. Tahun 2017, pertumbuhan ekonomi nasional 5,07 persen, sedangkan Lampung 5,17 persen.

Meski demikian, produksi sejumlah komoditas yang pada akhir 1990-an hingga 2015 menjadi andalan perekonomian warga merosot, seperti lada, kopi, singkong, dan udang. Adapun sejumlah komoditas berkembang dan mengalami kenaikan produksi, terutama tebu, pisang, dan kelapa sawit. Komoditas itu mulai banyak dikelola perusahaan. Pisang, misalnya, produksinya melonjak dari 549.928 ton pada tahun 2005 menjadi 1.517.004 ton pada 2017.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), luas panen kopi di Lampung yang pada tahun 2.000 mencapai 203.578 hektar, tahun

2017 turun menjadi 137.928 hektar. Seiring penyempitan luas panen, produksi kopi terbesar pada 2005 dengan 142.761 ton belum bisa disamai lagi. Terakhir, 2017, produksi kopi Lampung 110.368 ton.

Belum ada riset

Khusus untuk lada, penyakit busuk pangkal batang (Phytophthora Spp), belum ada riset untuk penawarnya yang disampaikan kepada petani. Yang bisa dilakukan petani hanya membabat tanaman guna mencegah penyebaran. Serangan penyakit ini menyebabkan produktivitas lada turun dari 1 ton menjadi 5 kuintal per hektar.

Mujiono, petani di Desa Sukoharjo, Kecamatan Bengkunat Belimbing, Kabupaten Pesisir Barat, mengatakan, harga lada di petani saat ini berkisar Rp 38.000 hingga Rp 40.000 per kilogram lada kering. Nilai tersebut jauh dari harga dua tahun lalu yang mencapai Rp 110.000 per kilogram.

Kondisi itu membuat perkebunan lada di Lampung Timur hingga Pesisir Barat tidak terurus. Kebun dibiarkan ditumbuhi banyak rumput. Tanaman lada yang menguning juga dibiarkan. Pada daun lada juga banyak ditemukan bercak hitam. ”Biasanya 1 hektar bisa menghasilkan 16 kuintal per tahun. Namun, empat tahun terakhir, sejak banyak tanaman terkena virus, 1 hektar hanya dapat 2 kuintal saja,” kata Mujiono.

Isa Ansori (39), petani singkong di Desa Negara Nabung, Kecamatan Sukadana, Lampung Timur, mengatakan, petani mendapat untung saat harga singkong Rp 1.200-Rp 1.400 per kilogram. Mendekati musim panen, harga singkong akan anjlok menjadi Rp 600 per kilogram.

Bukhari (45), petani kopi di Kecamatan Air Naningan, Tanggamus, juga merasakan anjloknya produksi kopi. ”Tahun lalu produksi kopi anjlok dari 900 kilogram menjadi 700 kilogram per hektar akibat hujan. Bunga kopi banyak rontok,” kata Bukhari.

Ketua Tim Percepatan Pembangunan Perkebunan, Pertanian, Perikanan, Peternakan, dan Kehutanan (TP4K) Lampung Joko Umar Said mengatakan, secara umum ada masalah budidaya, ketiadaan riset dan penggunaan teknologi pada komoditas andalan Lampung, seperti lada, kopi, dan singkong. Khusus singkong, kestabilan pasokan belum terjadi sehingga saat panen melimpah dan harga anjlok.

Kepala Bank Indonesia Lampung Budiharto Setyawan, Ketua Masyarakat Indikasi Geografis Lada Hitam Lampung Supangat, Ketua Dewan Rempah Indonesia Wilayah Lampung Untung, dan Wakil Ketua Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia Lampung Teddy Suryana secara terpisah mengatakan, produk pertanian di Lampung memiliki keunggulan.

”Namun masih diperdagangkan mentah sehingga belum banyak nilai tambah pada masyarakat,” kata Budiharto. Minimnya perhatian pada komoditas, terutama lada, kata Untung, juga membuat sejumlah varietas unggulan lada lokal punah.

Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Lampung Taufik Hidayat mengungkapkan, 31,8 persen perekonomian di Lampung disokong oleh pertanian, kehutanan, dan perikanan. Secara umum perekonomian di Lampung menggeliat dua tahun terakhir. Pertumbuhan ekonomi Lampung lebih tinggi daripada rata-rata nasional. Nilai tukar petani masih yang tertinggi di Sumatera, yakni 115 persen.

Meski begitu, kata Taufik, pemerintah masih berupaya mengatasi masalah kemiskinan yang mencapai 1.083.740 jiwa atau 13,04 persen dari jumlah penduduk. Laporan anak-anak terkena stunting (gagal tumbuh kembang berdampak pada tubuh pendek atau tinggi badan di bawah standar) juga masih bermunculan. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar 2013, tercatat 59.838 anak balita di Kabupaten Lampung Tengah mengalami stunting.

Rektor Universitas Lampung Hasriadi Mat Akin menuturkan, Universitas Lampung (Unila) telah merintis pembangunan pusat riset ubi kayu. Pemerintah daerah bekerja sama dengan Unila juga akan mendirikan pusat riset lada. (KOMPAS, SENIN 26/3)

Join The Discussion