News

Peneliti di balik skandal data Facebook merasa dikambinghitamkan

Nama Aleksandr Kogan jadi sasaran Facebook maupun Cambridge Analytica, menyusul skandal penyalahgunaan data pengguna untuk penargetan iklan kampanye politik. Peneliti dari Universitas Cambridge, Inggris, ini memanen data pribadi puluhan juta pengguna Facebook dan menjualnya kepada Cambridge Analytica.

Skandal penyalahgunaan data pengguna Facebook yang dituduhkan kepada Cambridge Analytica–yang telah dibantah–menyeret nama Aleksandr Kogan (32). Cambridge Analytica (CA) diduga memanfaatkan data pengguna Facebook secara ilegal saat membantu Donald Trump menduduki kursi Presiden Amerika Serikat pada 2016.

Data tersebut berupa profil kepribadian warga Amerika Serikat, yang dibangun berdasarkan penelitian Kogan. Situs MIT Technology Review menemukan jejak penelitiannya pada 2014 di platform bernama Amazon Mechanical Turk (MTurk).

Kepada CNN (20/3/2018) Kogan bilang merasa menjadi kambing hitam dalam skandal ini. Ia memang mengaku mengumpulkan informasi dari 30 juta warga AS (ia membantah angka 50 juta yang muncul dalam pemberitaan) melalui salah satu fitur Facebook.

Namun, Kogan berkukuh tak melanggar aturan Facebook mengenai penggunaan data pribadi. Menurutnya, ribuan pengembang aplikasi dan ahli data menggunakan metode yang sama dengannya. Begitu pikirannya saat itu, setelah diyakinkan staf CA bernama Christopher Wylie (21).

Apa yang dilakukan Kogan, pada dasarnya meminta pengguna untuk login pada aplikasi survei menggunakan akun Facebook. Login ke sebuah aplikasi atau platform di internet menggunakan akun media sosial, adalah hal yang lazim.

Metode ini memperingatkan pengguna ihwal risiko yang dihadapi bila setuju login lewat akun Facebook-nya. Jejaring sosial terbesar di dunia ini memang mengizinkan pengembang aplikasi untuk memanfaatkan fitur tersebut, dengan sejumlah syarat.

Yang tidak lazim, menurut Facebook dalam rilis resminya, Kogan memindahtangankan data pengguna Facebook yang dikuasainya kepada pihak ketiga, dalam hal ini Cambridge Analytica dkk. Saat mengendus aksi ini pada 2015, Facebook sempat meminta kepada Kogan dan pihak terkait, untuk menghapus data-data dimaksud.

Masih menurut Facebook, parapihak memenuhi permintaan tersebut. Perusahaan besutan Mark Zuckerberg inipun mengaku terkejut saat mengetahui bahwa “sebagian data itu ternyata belum dihapus.” Facebook merasa telah dikhianati.

Dalam wawancaranya bersama CNN itu, Kogan justru menuding Facebook membisniskan data pribadi pengguna. “Memanfaatkan data pengguna untuk mencari untung adalah model bisnis mereka,” ujar dia.

Kogan yang merasa terpojok, tak hanya menyerang Facebook. Dalam kesempatan lain ia juga menampik klaim akurasi data CA yang turut membantu kemenangan Donald Trump.

“Akurasi data itu terlalu dilebih-lebihkan,” cetusnya. “Pada praktiknya, dalam hemat saya, kemungkinan salah menebak kepribadian seseorang itu bisa enam kali lebih besar daripada tebakan benarnya,” imbuhnya yang dikutip The Verge.

Kogan pun mengaku tak tahu-menahu bila data yang dijualnya ke CA telah digunakan untuk menarget khalayak dengan kampanye Trump.

Cambridge Analytica percaya mereka sukses memenangkan Trump berkat penargetan iklan kampanye yang spesifik untuk warga AS. Dalam sebuah presentasi, Alexander Nix, CEO perusahaan ini, memamerkan iklan dukungan terhadap hak kepemilikan senjata di AS. Tema kampanye yang rajin diusung Trump.

Perusahaan analis data yang berbasis di Inggris ini mengaku menggabungkan berbagai sumber data sebagai dasar analisisnya. Menggunakan komputer, CA kemudian memprediksi kepribadian pemilih, sehingga dapat dipengaruhi melalui serangkaian pesan kampanye yang didesain khusus.

Kelindan CA dan Kogan terbongkar saat Christopher Wylie bersaksi di media–termasuk kepada The New York Times , Observer dan The Guardian. Wylie punya bukti bahwa SCL–perusahaan induk Cambridge Analytica–berbisnis dengan Global Science Research (GSR), perusahaan milik Kogan.

Lewat laporan media Inggris Channel 4 yang ditayangkan Selasa (20/3) lalu, Nix terekam sedang menggambarkan cara-cara tak senonoh dalam beroperasi. Tak lama setelah itu, ia pun dinonaktifkan dari posisi CEO.

“Komentar Nix tersebut tidak merefleksikan nilai atau cara perusahaan ini beroperasi, dan penangguhan jabatannya adalah bukti keseriusan perusahaan dalam memandang persoalan ini,” demikian pernyataan Cambridge Analytica yang dikutip Reuters.

Merekapun membantah semua tudingan, dan menyatakan telah menghapus data yang dipersoalkan setelah menyadari adanya pelanggaran aturan perlindungan data. (IFR/Beritatagar.id)

Join The Discussion