PEKANBARU – Terkait penyerangan harimau, Research and Monitoring (Tiger and Elephant) Module Leader WWF Indonesia Central Sumatera Program Febri Anggriawan Widodo mengatakan ada beberapa faktor penyebab konflik antara harimau dengan manusia.
Pertama, karena perilaku harimau sudah mengalami perubahan. Kedua, harimau masuk ke pemukiman warga karena ingin mempertahankan wilayah kekuasaannya atau teritorial. Ketiga, karena dalam sedang birahi. Keempat, karena harimau sedang bersama anaknya.
Namun katanya, yang paling mendekati itu, karena harimau berubah perilaku. Itu terlihat dari pengamatan tim di lapangan selama dua bulan lebih. Bahwa ternyata, harimau ini tidak takut lagi kepada manusia.
“Perilaku alamiahnya sudah berubah. Tidak takut lagi dengan manusia, dan tidak takut dengan keramaian,” ujar Febri kepada Riau Pos, Ahad (11/3).
Ada beberapa analisa mengenai penyebab perubahan perilaku ini. Salah satunya, karena harimau terserang canine distemper virus (CDV) atau yang sering disebut virus anjing. Virus ini mampu mempengaruhi kerja saraf pada otak harimau. Semacam gangguan jiwa.
Virus ini kata dia, bisa tertular melalui hewan ternak yang pernah diterkam harimau tersebut. Seperti anjing, kambing, dan ternak lainnya. Lebih cenderung, virus ini tertular melalui anjing.
“Kalau harimau tertular virus ini, maka kemungkinan harimau-harimau lainnya juga tertular virus yang sama,” ujarnya.
Penyebab perubahan perilaku lainnya kata Febri, karena modus balas dendam. Mungkin saja kata dia, pernah dulunya harimau itu disakiti manusia. Atau hutan yang menjadi rumah bagi harimau, sudah digarap manusia. “Mungkin dulu pernah dilukai manusia, makanya balas dendam,” ujar dia.
Dia juga menjelaskan, melihat kronologis di lapangan, korban diterkam saat berlari. Ketika itu, kata Febri, harimau akan mengira yang berlari adalah target mangsanya. “Jadi sudah kepergok sama harimau ini. Korban dikira targetnya, karena sedang berlari. Karena merasa terancam, harimau melumpuhkan korban ini,” ujar dia.
Febri juga mengakui, bahwa di lokasi tersebut, ada lebih dari satu individu harimau. Namun dia belum bisa memastikan apakah harimau yang memangsa manusia pada Sabtu (10/3), adalah harimau yang memangsa Jumiati pada Januari lalu.
“Itu belum bisa kami pastikan. Yang jelas, tim di lapangan sedang melakukan upaya penyelamatan harimau. Nantinya akan direlokasi. Kalau sudah tertangkap, baru dilihat penyebab sebenarnya,” ujarnya.
Sebelumnya, Febri juga menjelaskan tentang jumlah populasi harimau di Sumatera ini. Dari data WWF hingga 2007 ada sebanyak 371 harimau sumatera di Pulau Sumatera. Angka ini jauh menurun dibanding 20 tahun lalu. Di mana, pada tahun 1980-an, ada lebih dari 1.000 ekor harimau sumatera. Sedangkan di Riau kata Febri, pada dasarnya tidak memiliki angka pasti. Namun, telah ada dilakukan survei pendugaan populasi atau kepadatan harimau. Di mana, di Riau terdapat dua kategori bentang alam tempat harimau berdiam.
“Di Riau ada dua bentang alam. Yakni sedang dan kecil. Yang sedang itu kurang dari 70 ekor, dan yang kecil kurang dari 10,” ujarnya.
Lanskap atau bentang alam sedang ada di Suaka Marga Satwa Rimbang Baling. Bukit Bungkuk dan Bukit Batabuh masuk dalam lanskap Rimbang Baling ini. Kemudian lanjutnya, yang masuk dalam bentang alam sedang yakni Taman Nasional Bukit Tiga Puluh.
“Di sini, populasinya kurang dari 70. Kemampuan tampung harimau di lokasi ini, perbandingannya 1,52 ekor harimau dalam 100 km persegi,” ujar dia.
Sedangkan lanskap kategori kecil, yakni di Taman Nasional Tesso Nilo, Senepis Buluhala, dan Suaka Margasatwa Kerumutan. Artinya di sini, populasi harimau kurang dari 10 ekor. Perbandingannya 0,6 ekor, dalam 100 km per segi.
“Angka ini, diambil dari sampel-sampel. Kemudian dikalikan dengan tingkat hunian dan wilayah jelajah harimau ini,” ujarnya.
Dari sejarah yang ada kata Febri, Riau mampu menampung 100 ekor harimau. Dengan catatan, kawasan inti habitat harimau jangan diganggu. Kawasan yang menjadi habitat harimau, dikelola dengan baik. Dia juga menjelaskan, penurunan populasi harimau ini disebabkan oleh beberapa hal.
Pertama, hilangnya habitat. Di mana, hutan tempat tinggal harimau itu dirambah. Kedua, karena perburuan. Baik itu perburuan dengan sengaja, mau pun tidak. “Kalau terperangkap dalam perangkap babi, itu perburuan yang tidak sengaja,” ujarnya.
Ketiga, akibat konflik dengan manusia. Dari beberapa kasus, manusia cenderung melakukan balas dendam. Dengan memburu harimau yang telah berkonflik. Di lanskap kecil ini, kata Febri, kalau tidak diintervensi, maka 10 tahun akan datang, Harimau sumatera akan punah di kawasan itu. Intervensi ini maksudnya, habitatnya dikelola dengan baik. Perburuannya ditekan.
“Punah ini bukan berarti hilang sama sekali. Bisa jadi sepasang jantan dan betina yang bersaudara masih ada di lokasi itu. Tapi jika kedua ini kawin, maka akan terjadi penurunan genetik,” ujarnya. (RIAUPOS.CO)