News

Riset Vaksin TB, Mahasiswa Indonesia Ini Diundang Presentasi di Israel

TEL AVIV – Satria Arief Prabowo tidak mempunyai pikiran bahwa dia bakal mengunjungi Israel. Apalagi, merepresentasikan hasil risetnya dalam sebuah konferensi ilmiah.

Pria 25 tahun yang tengah menempuh jenjang Doktor di London School of Hygiene and Tropical Medicine (LSHTM) tersebut baru saja mengikuti Kongres Internasional bertajuk “Cell – Weizmann Institute of Science: Next Generation Immunology”. Kongres tersebut digelar di Weizmann Institute of Science di Rehovot, Israel, pada 11-14 Februari lalu.

Satria bercerita, dia berkesempatan untuk mempresentasikan hasil risetnya di kongres tersebut ketika mendapat sokongan dari kampusnya di Oktober 2017.

LSHTM menempati rangking satu dunia untuk studi di bidang kedokteran tropis yang meliputi berbagai bidang, termasuk basic science, khususnya Imunologi (ilmu yang mempelajari sistem kekebalan tubuh manusia sebagai dasar pembuatan vaksin).Dokter lulusan Universitas Airlangga Surabaya itu lantas mengajukan makalahnya ke komite ilmiah kongres.

“Saya diberi tahu bahwa makalah saya diterima sekitar November 2017, dan langsung mendapat surat undangan sebulan kemudian,” ujar Satria.

Di Weizmann, Satria memperoleh kesempatan memaparkan dalam bentuk presentasi pendek selama 10 menit yang memang diperuntukkan bagi mahasiswa PhD.

“Adapun sesi presentasi 30 menit diberikan kepada peneliti senior, atau mereka yang mempunyai gelar Profesor,” ulas Satria.

Dia melanjutkan, kongres itu dihadiri oleh perwakilan dari 90 negara. Antara lain Amerika Serikat (AS), Kanada, India, Jepang, maupun Korea Selatan. Satria membawakan makalah yang berjudul Investigation of Therapeutic Vaccination Strategies for Tuberculosis, di mana risetnya adalah berupaya mengembangkan vaksin terapeutik untuk penderita Tuberkulosis ( TB).

Menurut Satria, saat ini hanya ada dua kelompok riset di dunia yang berusaha mengembangkan vaksin terapeutik bagi penderita TB, yakni tim Satria yang diketuai Profesor Helen Fletcher, dan satu lagi di Spanyol.

“Pengembangan suatu vaksin baru untuk sebuah penyakit umumnya memakan waktu 10-15 tahun,” ulas Satria.

Satria melanjutkan, dia mengaku sempat cemas dan khawatir bahwa situasi di Israel bakal menjadi kurang kondusif pada Desember 2017. Sebab, Presiden AS Donald Trump mengumumkan pengakuannya bahwa Yerusalem merupakan ibu kota Israel, dan berencana memindahkan kedutaannya dari Tel Aviv ke sana (6/12/2017).

Langkah itu menimbulkan reaksi di kalangan rakyat Palestina. Sebab, mereka telah mencanangkan Yerusalem Timur sebagai ibu kota masa depan mereka. Namun, Satria memutuskan untuk tetap berangkat.

“Keputusan saya juga berdasarkan konsultasi yang saya lakukan dengan Kementerian Luar Negeri, dan KBRI di London,” terangnya.

Satria merupakan pelajar Indonesia yang mengerjakan proyek vaksin yang didanai oleh Uni Eropa, dan satu-satunya orang Indonesia yang hadir di kongres tersebut.

Warna Hijau

Terdapat satu cerita menarik ketika dia memberikan warna hijau pada sebuah poster yang sudah disiapkan untuk presentasi. Warna yang melambangkan Palestina dalam konteks konflik Israel-Palestina tersebut rupanya menarik perhatian salah seorang peneliti senior dari Israel. Peneliti itu kemudian bertanya kepada Satria mengapa warna posternya hijau.

“Saya mengetahui ke mana arah pertanyaannya. Jadi saya jawab bahwa Albert Einstein, ilmuwan yang notabene adalah orang Yahudi, suka warna hijau. Peneliti itu langsung diam,” kenangnya.

Lebih lanjut, Satria bersyukur karena selama 3,5 tahun menempuh studi PhD di London, dia dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan vaksin untuk TB, sekaligus merepresentasikan risetnya di sejumlah kongres internasional bergengsi. (tribunnews.com)

Join The Discussion