JAKARTA- Guru Besar Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran Deddy Mulyana menyambut positif rencana dari pemerintah yang akan mengklasifikasi jurnal nasional. Kendati demikian, pengklasifikasian tersebut harus jelas aturan dan alat ukurnya.
Bobot nilai publikasi yang masuk dalam jurnal nasional bereputasi terindeks Sinta tidak bisa disamakan dengan jurnal internasional terindeks Scopus.
Ia mengaku sepakat dengan fleksibilitas aturan yang akan diterapkan pemerintah dalam mengukur kinerja profesor. Pasalnya, dalam melakukan penelitian, para profesor memiliki kendala dan hambatan yang beragam. Tidak semua profesor memiliki penguasaan bahasa Inggris yang baik dan mendapat dukungan dana penelitian yang besar.
“Saya setuju (tidak hanya Scopus). Tapi gini, tetap diwajibkan publikasi di jurnal internasional bereputasi. Kalau bisa di jurnal yang terindeks Scopus, ya, itu lebih bagus. Tapi banyak jurnal internasional lain yang tidak terindeks Scopus dan itu bukan berarti jurnalnya abal-abal. Saya kira kewajiban 1 jurnal internasional dalam 3 tahun bagi profesor itu tidak berat, ringan. Tergantung komitmen dan integritas profesornya saja,” kata Deddy kepada “PR” dihubungi dari Jakarta, Selasa, 6 Maret 2018.
Ia menyatakan, pengklasifikasian jurnal nasional bagus untuk masa depan penelitian dalam negeri. Namun, perlu mekanisme penilaian yang tepat jika harus tetap dikaitkan dengan Permenristekdikti Nomor 20/2017.
Pasalnya, beberapa jurnal nasional terakreditasi milik sejumlah kampus ada yang sudah sepenuhnya menggunakan bahasa Inggris.
“Juga ada reviewernya. Seperti jurnal Mimbar milik Unisba. Jurnal ini sekarang kualitasnya akan menuju Scopus dan para penulisnya juga ada dari luar negeri. Untuk profesor yang bukan jadi penulis pertama tapi jurnalnya masuk publikasi internasional, sebaiknya diwajibkan memublikasikan lebih dari satu jurnal dong. Kecuali jadi penulis pertama, cukup satu jurnal. Intinya saya setuju Kemenristekdikti lebih fleksibel lagi,” ujarnya.
Dana penelitian
Deddy menegaskan, kebijakan kewajiban publikasi jurnal internasional harus diikuti dengan perbaikan aturan lainnya. Seperti aturan cara mendapatkan dan melaporkan dana penelitian yang bersumber dari pemerintah.
“Untuk mendapatakan pendanaan di Indonesia itu berbelit-belit. Laporannya sampai harus menyertakan bon. Kadang profesor habis waktu hanya untuk menyediakan laporan keuangan itu,” katanya.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Sumber Daya Iptek dan Dikti Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Ali Ghufron Mukti menuturkan, pemerintah akan mengklasifikasi jurnal nasional dan tidak mewajibkan para profesor untuk meublikasikan karya ilmiahnya pada jurnal terindeks Scopus.
Para dosen dan profesor bisa memublikasikan hasil penelitiannya pada jurnal nasional yang terindeks Science dan Technology Index (Sinta) milik pemerintah. Atau pengindeks jurnal internasional lainnya seperti Thomson dan Reuters.
Para profesor juga tidak harus berposisi sebagai penulis utama dalam melakukan publikasi tersebut. (PIKIRAN RAKYAT)