Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki iklim kering yang lebih tinggi dibandingkan provinsi lain di Indonesia. Bahkan, di beberapa wilayah, tanaman sulit tumbuh karena kurangnya air serta tanahnya yang lebih banyak kandungan batunya.
Akibatnya, bencana kelaparan akibat gagal panen sering terjadi berulang di NTT. Berdasarkan data BPS 2015, produksi jagung NTT menempati urutan pertama, yakni sebesar 685.081 ton. Namun demikian, konsumsi jagung masyarakat NTT hanya di kisaran 100 ribu ton.
Masyarakat NTT umumnya mengkonsumsi jagung dalam bentuk jagung basah, jagung kering, dan jagung pipil dengan rata-rata konsumsi jagung setiap rumah tangga dalam seminggu sebesar 6 kilogram atau 1,44 kg/kapita/minggu. Keberhasilan program pemerintah dalam swasembada beras pada 1984 ternyata mulai menggeser pola konsumsi masyarakat setempat. Beberapa desa ataupun wilayah lebih senang mengkonsumsi beras dan hanya pada saat-saat tertentu mengkonsumsi jagung kembali. Itu pun dalam bentuk cemilan.
Untuk mengembalikan kebiasaan masyarakat NTT mengkonsumsi jagung, diperlukan gerakan untuk mengubah pola konsumsi masyarakat ke dalam pangan pokok berbasis jagung yang memang potensial untuk wilayah NTT.
Guna mengangkat kembali pamor jagung sebagai pangan pokok bagi masyarakat NTT, maka harus dilakukan intervensi inovasi teknologi penanganan dan pengolahan jagung kepada masyarakat NTT. Para petani harus paham cara melakukan panen yang baik untuk bisa menekan aflatoksin. Para UKM, ibu-ibu anggota PKK, Kelompok Wanita Tani (KWT), dan ibu-ibu rumah tangga juga harus didampingi agarbisa mengolah berbagai makanan dengan bahan baku jagung. Dengan demikian, pangan yang dihidangkan menjadi lebih menarik dan tidak membosankan.
Badan Litbang Pertanian melalui Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian telah mengembangkan teknologi pengolahan berasan jagung pratanak yang memiliki beberapa keunggulan, yaitu berasan jagung yang dihasilkan tidak berasa asam, nilai cernanya lebih tinggi, waktu tanak lebih cepat, tahan terhadap infeksi aflatoksin hingga dua tahun penyimpanan, serta indeks glikemiknya rendah dan tidak menyebabkan sebah atau kembung di perut.
Inisiasi pengembangan diversifikasi pangan berbasis jagung yang difokuskan pada implementasi teknologi produksi berasan jagung grit dan berasan jagung pratanak di tingkat petani sudah dilakukan BB Pascapanen pada 2016 di Kabupaten Kupang, NTT.
Terobosan implementasi teknologi pengolahan jagung itu dilakukan di Rumah Jagung milik kelompok wanita tani Bougenvile di Desa Manusak, Kecamatan Kupang Timur, Kabupaten Kupang, dengan produk yang dihasilkan adalah berasan jagung grit, berasan jagung pratanak, dan tepung jagung.
“Untuk memproduksi produk-produk tersebut, Balitbangtan menyiapkan model produksi yang terdiri dari perontok jagung, penyosoh jagung, pengering (dryer), pengayak, dan pengemas,” kata Sigit Nugraha, peneliti BB Pascapanen yang menjadi penanggung jawab kegiatan tersebut.
Selanjutnya, Sigit menambahkan, pada 2018, kegiatan pengembangan kawasan diversifikasi pangan di Kupang akan dilanjutkan dengan melengkapi lini proses yang belum ada serta fokus utama pada gerakan intervensi pola konsumsi masyarakat dengan produk pangan pokok berbasis jagung dalam bentuk berasan jagung.
Kepala BB Pascapanen, Prof. Dr. Risfaheri, menyatakan, hal lain yang juga penting untuk pengembangan kawasan diversifikasi pangan berbasis jagung di Kupang, NTT, adalah menjamin ketersediaan bahan baku jagung. Oleh karena itu, kata dia, Rumah Jagung akan menggandeng kelompok tani untuk bekerja sama dalam penyediaan bahan baku jagung.
Risfaheri melanjutkan, BB Pascapanen pun akan menggandeng pemda setempat serta BPTP NTT untuk mengawal kegiatan ini. “Tentunya dengan berkoordinasi bersama BB Pascapanen sebagai penanggung jawab kegiatan pengembangan kawasan diversifikasi pangan di Balitbangtan,” ujar Risfaheri. (BB Pascapanen/Balitbangtan/Republika.co.id)