JAKARTA.- Kemampuan berbahasa Inggris yang buruk dan rendahnya budaya menulis ilmiah menjadi kendala terbesar bagi para profesor Indonesia untuk produktif menulis jurnal internasional. Alhasil, sekitar 70 persen dari total 5.463 profesor memilih untuk menghabiskan waktu akademiknya dengan mengajar dan menjadi pembicara dalam sebuah seminar. Padahal, sesuai dengan Permenristekdikti Nomor 20/2017, para profesor didorong untuk lebih produktif menulis jurnal ilmiah bereputasi internasional.
Direktur Jenderal Sumber Daya Iptek dan Dikti Kemenristekdikti Ali Ghufron Mukti menuturkan, kendala lain penyebab minimnya produktivitas riset dari para profesor yakni tidak semua profesor mudah mencari dana penelitian. Menurut dia, sebelum Permenristekditi tersebut lahir, para profesor juga tidak mendapatkan sanksi yang tegas seperti penghentian sementara tunjangan kehormatan profesor yang besarannya mencapai 3 kali gaji pokok.
“Makanya Permenristekdikti Nomor 20/2017 diharapkan mampu menjadi instrumen yang tepat untuk mengevaluasi profesionalisme dosen dan produktivitas profesor. Saya yakin seorang profesor pasti memiliki ide-ide yang menarik untuk dijadikan sebuah tulisan ilmiah, menghasilkan produk inovatif yang dapt membawa kesejahteraan bangsa,” kata Ghufron di Kantor Kemenristekdikti, Jakarta, Jumat 23 Februari 2018.
Ia menegaskan, seorang profesor harus menjadi academic leader yang menguasai keilmuan pada bidangnya. Dengan demikian, para profesor tersebut dapat membimbing dan menghasilkan produk inovatif yang sesuai dengan kebutuhan nasional. “Proses revisi kebijakan masih berjalan, sudah 95 persen, dan harus menunggu konfirmasi dari Pak Menteri. Beberapa hal yang kami perhatikan, yakni dosen tidak hanya menghasilkan jurnal ilmiah, tetapi juga mampu menerbitkan buku. Sebab, ternyata tidak semua jurnal internasional itu bereputasi,” tuturnya.
Ia menyatakan, kendala bahasa jangan menjadi alasan bagi para peniliti untuk sembarangan memasukkan tulisan ilmiahnya ke dalam jurnal. Pasalnya, dalam penulisan publikasi internasional, seorang dosen atau profesor tidak harus menjadi penulis pertama, tetapi juga bisa berkolaborasi dengan dosen atau peneliti lain. “Ada jurnal abal-abal seperti Man In India, jangan kirim ke situ. Kirim seperti ke Copernicus, Thomson, dan lain sebagainya yang terbukti bereputasi,” ujarnya.
Banyak faktor
Anggota Dewan Pertimbangan Forum Rektor Indonesia (FRI) Asep Saifuddin menilai, para profesor atau guru besar Indonesia terlalu banyak menghabiskan waktunya untuk mengajar mahasiswa sarjana. Menurut dia, dukungan dana dari pemerintah dan kampus pun relatif masih kecil. “Ada banyak faktor yang tidak sederhana. Pertama yakni waktu profesor habis digunakan untuk mengajar mahasiswa sarjana karena tidak semua perguruan tinggi mempunyai program doktoral berbasis riset,” katanya.
Menurut dia, kendala bahasa terjadi karena Indonesia tidak menjadikan Bahasa Inggris sebagai bahasa kedua. Berbeda dengan Singapura dan Malaysia. “Warga Malaysia dan Singapura yang sudah mahir menggunakan bahasa asing sejak tingkat taman kanak-kanak Jadi karya ilmiah kita kalah bersaing dan akhirnya ditolak jurnal, walaupun bisa saja substansinya bagus. Tetapi kalau bahasanya tidak bisa dimengerti maka ditolak,” ujarnya.
Berdasarkan hasil evaluasi Ditjen SDID, saat ini masih ada sebanyak 2.748 profesor tidak lolos publikasi sesuai syarat yang tercantum dalam Permenristekdikti Nomor 20/2017 tentang Pemberian Tunjangan Profesi Dosen dan Tunjangan Kehormatan Profesor. Kendati demikian, belum akan menjatuhkan sanksi. (PIKIRAN RAKYAT)