KARYA ilmiah profesor atau guru besar di Indonesia dalam tiga tahun terakhir dilaporkan sangat minimal.
Dari hasil evaluasi Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek-Dikti) per tiga tahun yang untuk pertama kalinya dilakukan mulai November 2017, tercatat dari 5.366 profesor yang ada, ternyata hanya 1.551 orang yang memenuhi syarat publikasi sebagaimana diamanatkan dalam Permenristek-Dikti No 20/2017.
Artinya, hanya 1 dibanding 3 profesor yang terbukti mampu melahirkan karya ilmiah di jurnal internasional bereputasi. Sebagian besar profesor di Tanah Air ternyata menghabiskan waktu mereka di kampus hanya untuk mengajar dan membimbing mahasiswa.
Fakta bahwa tidak banyak profesor yang menghasilkan baik karya ilmiah, paten, maupun karya seni atau desain monumental sebagaimana dilaporkan Kemenristek-Dikti tentu sangat memprihatinkan. Meski pemerintah telah memutuskan untuk menunda pencabutan tunjangan guru besar yang seharusnya mulai dilaksanakan 2018 ini ke 2019 nanti, data tentang minimnya karya ilmiah para profesor di Tanah Air itu mengindikasikan bahwa ada yang keliru tentang produktivitas profesor.
Apa sebetulnya yang menyebabkan para profesor seolah enggan menulis karya ilmiah di jurnal internasional bereputasi? Kenapa para profesor di luar negeri begitu produktif menghasilkan artikel ilmiah di jurnal internasional, sementara para profesor di Tanah Air terkesan mandul?
Faktor penyebab
Sampai akhir Desember 2017, publikasi karya ilmiah intelektual dari Indonesia sebetulnya tercatat sudah meningkat cukup tajam, yakni mencapai 16.471 karya ilmiah. Dua tahun sebelumnya jumlah karya artikel ilmiah para intelektual Indonesia tidak lebih dari 10 ribu artikel. Jika dibandingkan dengan Thailand yang hanya menghasilkan 14.200 artikel di jurnal internasional, saat ini kita memang masih lebih baik. Namun, jika dibandingkan dengan Singapura, Malaysia, Hong Kong, dan negara maju lainnya, harus diakui kita masih ketinggalan jauh.
Dalam kurun waktu 1996-2015, Indonesia dilaporkan menduduki peringkat ke-11 di kawasan negara Asia dengan jumlah karya ilmiah hanya 39.719 artikel di jurnal internasional. Bandingkan, misalnya, dengan Singapura yang mampu menghasilkan 215.553 karya ilmiah dan Malaysia yang mampu menghasilkan sebanyak 181.251 karya ilmiah. Di berbagai negara maju, kultur akademik yang telah berkembang mapan menyebabkan aktivitas menulis karya ilmiah bukan lagi kewajiban, melainkan telah menjadi tuntutan seluruh intelektual.
Antusiasme para profesor dan dosen Indonesia untuk menghasilkan dan menyebarluaskan karya ilmiah tergolong rendah. Dari kewajiban profesor dan dosen melaksanakan Tridharma Perguruan Tinggi, kebanyakan mereka lebih memilih mengajar dan membimbing mahasiswa daripada meneliti dan mengabdikan. Tidak banyak profesor yang antusias dan terbiasa menulis, baik itu buku, artikel opini, apalagi artikel di jurnal internasional. Para dosen di Indonesia yang terdaftar di Sinta (Science and Technology Index), misalnya tercatat baru 28% dari total dosen yang ada.
Keengganan dosen mendaftarkan diri di Sinta, situs yang dikelola Kemenristek-Dikti itu, sedikit-banyak merefleksikan kecilnya minat atau ketidakpedulian para dosen, terutama profesor, untuk berkarya dan menyebarluaskan karya-karya ilmiahnya. Melalui Sinta, sebetulnya rekam jejak intelektual seorang profesor akan dapat diketahui. Namun, sering terjadi para profesor enggan mendaftarkan diri ke Sinta karena memang tidak ada atau sedikit karya ilmiah mereka yang bisa ditampilkan.
Kenapa sebagian besar profesor di Indonesia enggan atau belum mampu menghasilkan karya ilmiah di jurnal internasional yang bereputasi?
Menjawab pertanyaan itu harus diakui bukan hal yang mudah. Ada banyak faktor yang menyebabkan para profesor sepertinya terlena dengan status kehormatan mereka sebagai guru besar dan lupa untuk membuktikan diri melalui karya ilmiah yang dihasilkan. Beberapa hal yang menjadi penyebab produktivitas profesor rendah dalam menghasilkan karya tulis ilmiah di jurnal internasional bereputasi ialah seperti berikut ini.
Pertama, karena para profesor tampaknya enggan untuk kembali menjadi pemula dan mencoba menulis artikel ilmiah untuk jurnal internasional bereputasi yang biasanya melalui proses seleksi yang ketat. Sebagian besar profesor yang sudah terbiasa menikmati keistimewaan dan status sebagai guru besar yang dihormati tampaknya banyak yang kemudian enggan jika kembali harus berjuang untuk memperlihatkan eksistensi mereka melalui karya ilmiah.
Bagi profesor yang minim berkarya itu, tampaknya lebih baik mereka mengajar dan membimbing mahasiswa yang sudah pasti akan menghormati kedudukan mereka daripada berusaha menulis artikel ilmiah di jurnal internasional yang membutuhkan energi ekstra besar. Ego sebagai guru besar dan kenyamanan yang selama ini telah dirasakan, langsung atau tidak langsung, membuat banyak profesor akhirnya memilih berdiam diri daripada susah-payah menghasilkan artikel yang belum tentu lolos seleksi.
Bukan tidak mungkin, dalam hati mereka berpikir, daripada nanti malu ditolak karena artikel mereka dinilai tidak layak muat, lebih baik memilih tidak usah menulis, tetapi tetap dapat mempertahankan status lewat jalur yang lebih memungkinkan.
Kedua, karena sumber pemasukan dari mengajar, membimbing, dan menguji mahasiswa dirasakan sudah cukup menjanjikan daripada memperoleh insentif menulis di jurnal internasional bereputasi. Meski penghasilan bukan satu-satunya yang menjadi bahan pertimbangan, iming-iming penghasilan yang besar tanpa harus menulis artikel ilmiah tentu menjadi tawaran yang sulit ditepis.
Seorang profesor yang memiliki bimbingan 20 mahasiswa program studi S-3, misalnya, paling tidak ia sudah memperoleh penghasilan sekitar Rp100 juta. Itu belum termasuk honor jika mereka menjadi tim penguji atau diundang sebagai dosen tamu dan narasumber di berbagai seminar.
Sudah bukan rahasia lagi bahwa banyak profesor lebih memilih menjadi promotor mahasiswa S-3 atau S-2, selain karena penghasilannya lumayan besar, juga karena biasanya terkadang mereka juga memperoleh tambahan fasilitas lain, seperti diundang sebagai narasumber dan memperoleh hadiah berbagai macam dari mahasiswa bimbingannya.
Seorang profesor yang sudah terlalu lama tidak pernah lagi menulis artikel ilmiah ibaratnya ia sudah ketinggalan perkembangan ilmu yang terbaru, yang membuat mereka makin sulit mengembangkan kemampuan intelektualitas mereka.
Ketiga, karena sebagian profesor lebih memilih menempuh karier di jalur struktural, menjadi pejabat di kampus dan memperoleh tunjangan yang lumayan besar. Bagi profesor yang menduduki jabatan struktural, mereka biasanya dengan mudah akan berkilah sudah terlalu banyak disibukkan dengan tugas administratif, dan karenanya meminta dimaklumi jika tidak memiliki banyak waktu untuk menulis artikel di jurnal internasional.
Jangankan menulis artikel di jurnal internasional bereputasi, bahkan menulis opini di media cetak maupun media online pun mereka merasa tidak memiliki kesempatan yang cukup dengan alasan sibuk mengurus administrasi urusan kampus.
Di berbagai perguruan tinggi, sudah bukan rahasia lagi para profesor yang menduduki jabatan struktural cenderung mandul. Waktu sehari-hari habis tersita untuk rapat dan urusan administrasi. Kesempatan untuk berkontemplasi dan menelusur artikel ilmiah di jurnal bereputasi untuk bahan menulis tidak lagi tersedia.
Pada titik ini, tidak mengherankan jika profesor yang menduduki jabatan struktural tersebut seolah seperti orang yang kehabisan ide, pikirannya menjadi tumpul karena tekanan dan beban pekerjaan rutin.
Keempat, untuk menyiasati keterbatasan dan ketidakmampuan, sejumlah profesor memang dimungkinkan melakukan tandem dengan mahasiswa bimbingan mereka atau tandem dengan dosen junior yang lebih fresh secara intelektual. Cara seperti itu biasanya dilakukan sebagai bentuk kamuflase untuk menutupi kesibukan dan ketidakmampuan profesor.
Tidak sedikit profesor memilih cara tandem itu karena dirasa lebih mudah.
Seorang profesor yang hanya menulis satu-dua artikel, dan kemudian selebihnya hanya melakukan tandem atau titip nama kepada mahasiswa bimbingannya, sebetulnya kurang elok. Namun, cara itu masih ditoleransi Kemenristek-Dikti. Cuma, yang memprihatinkan, meski cara itu diperkenankan, ternyata juga tidak banyak profesor yang mau dan mampu melakukannya karena keterbatasan pengetahuan mereka tentang perkembangan bidang keilmuannya yang terbaru.
Sanksi sosial
Editorial Media Indonesia pada 24 Februari 2018 telah menulis keprihatinan kita bersama terhadap minimnya karya ilmiah profesor. Bahkan, dalam catatan Editorial disebutkan kemungkinan saat ini kita tengah menghadapi darurat keilmuan profesor.
Jika benar data yang ada menyatakan sekitar 70% profesor tidak produktif menghasilkan karya ilmiah, itu bukan hanya mengisyaratkan keprihatinan kita terhadap produktivitas insan kampus, terutama kemandulan intelektualitas para profesor, melainkan sebetulnya juga mengisyaratkan ada yang salah tentang mekanisme yang dikembangkan Kemenristek-Dikti dalam mendorong para profesor menulis.
Ancaman sanksi berupa pencabutan atau pemotongan tunjangan kehormatan guru besar jika tidak menulis artikel di jurnal internasional sebenarnya bukanlah solusi yang tepat. Daripada mengeluarkan ancaman pemotongan atau pencabutan tunjangan kehormatan guru besar, sesungguhnya akan lebih bijak jika sanksi yang diberlakukan lebih berupa sanksi sosial.
Melarang profesor yang tidak pernah menulis artikel di jurnal internasional menjadi promotor, menurut saya, lebih efektif dan adil karena secara moral tidaklah elok mewajibkan mahasiswa bimbingannya menulis artikel di jurnal internasional jika mereka sendiri belum melakukan hal yang sama.
Terlepas dari minimnya karya ilmiah profesor di Tanah Air, ada baiknya jika pemerintah membebani lagi dengan sanksi ekonomi seolah gaji mereka selama ini sudah lebih dari cukup.
Ancaman pencabutan dan pemotongan tunjangan guru besar jika mereka tidak menulis artikel di jurnal internasional jangan-jangan justru kontraproduktif karena akar masalahnya bukan itu.