BANDUNG– Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi memberikan tugas penelitian kepada lima perguruan tinggi (PT) Indonesia untuk membuat mobil listrik nasional (molina).
Dalam tugas tersebut, Institut Teknologi Bandung (ITB) dipercaya untuk meneliti baterai berteknologi tinggi untuk molina. Penelitian ini pun dikerjasamakan dengan institusi riset swasta dan universitas di Cambridge, Amerika Serikat, yakni Institut Teknologi Massachusetts (MIT) sejak tahun 2017 dan akan berlangsung hingga lima tahun mendatang.
“Kami sedang meneliti baterainya itu karena elemen paling penting untuk mobil listrik itu baterai. Nah, kami kerja sama dengan MIT Amerika. Dapat dana dari USAID dalam proyek SHERA (Sustainable Higher Education Research Aliances). Jadi dengan MIT kami bermitra. Kami juga ajak perguruan tinggi dalam negeri supaya ilmunya menyebar tak hanya untuk kita, yaitu meneliti baterai yang terbaik untuk mobil listrik. Kenapa MIT, karena dia yang terbaik di dunia,” jelas Rektor ITB Kadarsah Suryadi, Jumat (23/2/2018).
Pengerjaan baterai ini dilakukan oleh 20 orang peneliti ITB dari lintas disiplin ilmu. Penelitian baterai berteknologi tinggi itudilakukan di PT masing-masing. Meski begitu, para peneliti dua PT ini tetap berkomunikasi dan akan waktu bertemu untuk membicarakan hasil penelitiannya.
“Kami sifatnya on stay, jadi di sini ada, di sana ada. Nanti suatu waktu ketemu, tapi mereka tetap komunikasi. Baterai ini sulit memang, karena itu teknologi baru. Di negara Jepang saja masih hybrid. Kalau pun ada, kecepatannya belum tinggi,” ujar Kadarsah.
Penelitian yang diketuai oleh Sigit Santosa dari Fakultas Teknologi Mesin Dirgantara ITB ini menargetkan pembuatan baterai berteknologi tinggi dengan waktu charging yang cepat dan penggunaan yang tahan lama.
“Jadi baterai itu di-charge-nya cepat, tapi tahan lama. Seperti di Finlandia yang hanya di-charge sekian menit, tapi bisa dipakai berhari-hari karena pakai teknologi tinggi. Nah, ini perlu ketekunan,” katanya.
Sebelumnya, Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir menargetkan bahwa Indonesia mampu memproduksi molina secara mandiri pada tahun 2020. Adapun tahun 2018 ini pihaknya menargetkan molina sudah pada tahap uji tes lapangan.
Dari Rp 2,45 triliun dana untuk pengembangan riset, Menristek bakal menganggarkan Rp 200 miliar untuk mencapai target penelitian molina tahun ini.
“Mobil listrik sangat tinggi sekali ini, nanti kalau presiden sudah mengeluarkan kebijakan baru, yaitu subsidi, orang mungkin akan pilih itu (mobil listrik). Kalau itu disubsidi, lebih murah dari harga (kendaraan) bensin,” ucap Mohamad Nasir.
Menurut dia, saat ini penelitian yang diminta adalah masalah baterai berteknologi tinggi yang memiliki ketahanan yang baik. Maksudnya, pengisian baterai dapat dilakukan dengan cepat dan digunakan tahan lama.
“Nah, kalau sekarang kita charging di rumah, tapi setelah di-charge berhenti di tengah jalan gimana? Sementara ini kalau baterai charge-nya lama, mereka akan nunggunya lama. Di Finlandia, recharge itu hanya butuh lima sampai 10 menit. Kalau harapan ini diterapkan di Indonesia lebih baik,” jelas Nasir.
Adapun untuk motor listrik, menurut Nasir, sudah selesai dibuat, bahkan sudah masuk industri untuk kemudian menunggu proses produksi pada tahun ini.
“Sudah tahap sertifikasi, ini sudah selesai semua. Tapi, tetap produk harus keluar dulu, setelah itu sertifikasi dari Kementerian Perindustrian terhadap materialnya, sertifikasi dari Kementerian Perhubungan apakah layak jalan atau tidak,” tuturnya.
Tak hanya itu, pihaknya juga akan bekerja sama dengan instansi terkait untuk penyediaan jaringan pul listrik untuk charging kendaraan yang dijalankan dengan energi listrik tersebut.
“Semua jaringan akan dipenuhi, yaitu kerja sama dengan PLN dan Pertamina, yaitu nanti di pul SPBU akan terpasang charging untuk motor,” ujar Nasir. (KOMPAS.COM)